A.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan wasiat?
2.
Bagaimanakah Wasiat menurut Fikih, BW, KHI dan
Hukum Adat ?
3.
Apa hukum wasiat?
4.
Apa saja syarat- syarat dan
rukun wasiat?
5.
Berapakah bagian harta yang dapat
diwasiatkan?bagaimana menunaikan wasiatnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wasiat
Dari segi etimologis, kata Wasiat (al washa-ya) adalah
jamak dari kata ‘washiyyah’ seperti Hada-ya jamak dari kata Hadiyyah. Dalam pengertian hukum syara’,
wasiat ialah suatu perjanjian khusus yang disandarkan kepada sesuatu sesudah
meninggal. Wasiat juga berarti menjadikan, menaruh
kasih sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Secara umum kata wasiat disebutkan dalam Al – Qur’an sebanyak 9 kali, dalam
bentuk kata kerja disebut sebanyak 14 kali, dalam bentuk kata benda jadian
disebut sebanyak 2 kali, hal yang berhubungan dengan wasiat ini seluruhnya
disebut dalam Al – Qur’an sebanyak 25 kali.
Wasiat berasal dari bahasa Arab ‘washa’ yang berarti
menyampaikan. Wasiat adalah harta yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang
lain ketika si pemberi wasiat telah meninggal dunia. Wasiat ialah pesan tentang
suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia. Wasiat (Ar : Al – Wasiyyah = pesan atau janji seseorang
kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan baik ketika orang yang
berwasiat masih hidup maupun setelah wafat) Wasiat adalah salah satu bentuk
sarana tolong menolong antara sesama muslim baik yang bersifat materi maupun
manfaat .
Ulama
Fikih
mendefinisikan wasiat dengan “Penyerahan harta secara sukarela dari seseorang
kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik harta itu
berbentuk materi maupun berbentuk manfaat.” Adapun wasiat sekalipun akadnya
dibuat ketika orang yang berwasiat masih hidup, tetapi hukumnya yang berlaku
setelah orang yang berwasiat itu wasfat. Sebelum itu, akad wasiat tersebut
tidak mempunyai efek apapun dari segi perpindahan hak milik kepada orang yang
diberi wasiat.
Menurut Ahmad Rafiq[1] dalam bukunya ‘Aneka
Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia’ para ahli
hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada
orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa
menurut imbalan atau tabarru. Sayyid Sabiq[2] mengemukakan bahwa pengertian ini adalah sejalan dengan definisi
yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Hanafi yang
mengemukakan bahwa wasiat itu adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya
kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan kebendaan maupun
manfaat secara sukarela tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai
terjadi kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut. Sedangkan Al Jaziri[3] menjelaskan bahwa para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Maliki,
Syafi’i dan Hambali memberi definisi wasiat lebih rinci lagi, mereka mengatakan
bahwa wasiat itu adalah suatu transaksi yang mengharuskan orang yang menerima
wasiat berhak memiliki sepertiga harta peninggalan orang yang menyatakan wasiat
setelah ia meninggal dunia.
Menurut kamus lengkap bahasa Indonesia, wasiat merupakan
kata benda yang memiliki dua arti. Pertama, wasiat artinya pusaka atau sesuatu yang bertuah . Kedua, wasiat
berarti pesan terakhir yang disampaikan oleh orang yang meninggal dunia.[4]
Dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia, Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro,
S.H, mengatakan bahwa perbuatan menetapkan kemauan terakhir ini di Indonesia
dinamakan hibah wasiat. Dalam bahasa Belanda dinamakan testament (lihat pasal
875 B.W.[5]).
Dalam pasal 171 huruf ‘a’
Kompilasi Hukum Islam buku III hukum kewarisan, yang dimaksud wasiat
adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang
akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Ketentuan tentang wasiat ini terdapat
dalam Pasal 194 – 209 yang mengatur secara keseluruhan prosedur tentang wasiat.
Wasiat bukan saja dikenal dalam
hukum Islam, tetapi dikenal juga dalam Hukum Perdata BW. Wasiat dalam hukum
perdata dikenal dengan nama testamen yang diatur dalam buku kedua bab
ketigabelas. Dalam Pasal 875 BW dikemukakan bahwa surat wasiat (testamen)
adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang
dikehendakinya setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali oleh orang
yang menyatakan wasiat itu.
Menurut
Eman Suparman[6] dalam hukum adat, wasiat adalah pemberian yang dilaksanakan oleh
seseorang kepada ahli warisnya atau orang yang tertentu pelaksanaannya
dilakukan setelah orang yang menyatakan wasiat itu meninggal dunia.
B.
Dasar Hukum Wasiat
Dalam syariat Islam, sumber hukum yang mengatur tentang wasiat dapat
ditemui dalam Al-Qur’an surat al – Baqarah
ayat 180, Allah mengemukakan apabila seseorang di antara umat manusia sudah ada
tanda- tanda
kedatangan maut, sedangkan ia mempunyai harta yang banyak, maka ada kewajiban
baginya untuk berwasiat terutama kepada ibu bapaknya dan karib kerabatnya.
Kemudian dalam Al– Qur’an surat al – Maa’idah ayat 106 Allah
mengemukakan apabila salah seorang di antara umat manusia menghadapi kematian,
sedangkan ia
hendak berwasiat maka hendaklah wasiat itu haruslah disaksikan oleh dua orang
saksi yang adil atau dua orang saksi non
muslim jika ia sedang dalam perjalanan di muka bumi lalu secara tiba–tiba ia
ditimpa banyak kematian. Berdasarkan ayat dan hadits di atas ulama fikih menetapkan bahwa
hukum dasar dari wasiat itu adalah sunnah (dianjurkan) karena ayat dan hadits
di atas hanya mengandung hukum sunnah. Berdasarkan sumber hukum tentang wasiat sebagaiman tersebut
diatas, para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang status hukum wasiat ini.
Mayoritas mereka berpendapat bahwa
status hukum wasiat itu tidak fardhu’ain, baik kepada kedua orangtua maupun
kepada kerabat yang sudah menerima
warisan atau kepada mereka yang tidak menerima warisan.
Di
kalangan ahli hukum mazhab Hambali menjelaskan bahwa wasiat menjadi wajib
apabila wasiat bila tidak dilakukan akan membawa akibat hilangnya hak – hak
atau peribadatan. Wasiat menjadi makruh jika wasiat dilaksanakan oleh orang
yang tidak meninggalkan harta yang cukup, sedangkan ia mempunyai ahli waris
yang membutuhkannya. Wasiat menjadi sunnah jika berwasiat kepada kerabata yang
kafir dan tidak bisa mewaris, dengan syarat orang yang meninggal dunia
meninggalkan harta yang banyak dan tidak melebihi sepertiga harta. Wasiat
menjadi haram jika wasiat dilaksanakan melebihi sepertiga harta yang
dimilikinya, atau berwasit kepada orang yang berbuat huru-hara dan merusak.
Wasiat menjadi mubah apabila dilaksanakan tidak sesuai dengan petunjuk syar’i
seperti wasiat kepada orang yang kaya.[7]
Ü Disyariatkannya
Wasiat
Wasiat
disyariatkan berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma. Dalam Al Qur’an, Allah swt berfirman QS Al Baqarah 180 :
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
180.
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf[8],
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Dalam As
Sunnah terdapat hadist – hadist berikut ini :
Ibnu Umar r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah
saw bersabda :
Hadits No. 984
|
||
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam bersabda: "Seorang muslim tidak berhak mewasiatkan sesuatu
yang ia miliki kurang dari dua malam (hari), kecuali jika wasiat itu tertulis
disisinya." Muttafaq Alaihi.
|
|
ََعَنْ
اِبْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله
عليه وسلم قَالَ : ( مَا حَقُّ اِمْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ
يُوصِيَ فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ
) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
|
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah
saw bersabda :
“Sesungguhnya
seorang laki – laki dan seorang perempuan benar – benar mengerjakan ketaatan
kepada Allah selama enam puluh tahun. Lalu kematian mendatangi keduanya. Dan
keduanya merugikan (ahli waris) dalam wasiat sehingga ditetapkan neraka bagi
keduanya”[9]
C.
Syarat dan Rukun Wasiat
1.
Syarat Wasiat
Syarat – syarat wasiat adalah
terdapat orang yang berwasiat, orang yang diberi sesuatu yang diwasiatkan.
Masing – masing memiliki syarat – syarat wasiat yaitu :
a.
Syarat
orang yang berwasiat
Disyariatkan
agar orang yang berwasiat adalah orang yang dibolehkan untuk berderma karena
memiliki kapabilitas yang sempurna. Kapabilitas yang sempurna adalah jika ia
memiliki akal, sudah balig, merdeka, bebas berkehendak dan tidak adanya hajr
(larangan untuk membelanjakan harta) karena kebodohan atau kelalaian.[10]
b.
Syarat
– syarat orang yang diberi wasiat
Pada orang yang diberi wasiat disyaratkan
hal – hal berikut ini :
1.
Orang
yang diberi wasiat bukan ahli waris dari orang yang berwasiat
2.
Para
ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa jika orang yang diberi wasiat adalah
tertentu, maka bagi keabsahan wasiat untuknya disyaratkan agar dia ada pada
waktu wasiat dilakukan, baik secara hakiki maupun secara asumtif
3.
Orang
yang diberi wasiat tidak membunuh orang yang berwasiat dengan pembunuhan yang
diharamkan secara langsung
c.
Syarat
sesuatu yang diwasiatkan
Disyariatkan agar sesuatu yang
diwasiatkan bisa dimiliki setelah kematian orang yang berwasiat dengan salah
satu dari sebab – sebab kepemilikan. Dibolehkan mewasiatkan setiap harta yang
memiliki nilai boleh mewasiatkan buah yang dihasilkan oleh pohon dan anak yang
dikandung oleh sapi betina karena keduanya bisa dimiliki melalui warisan. Juga
dibolehkan mewasiatkan piutang, manfaat, seperti penempatan rumah, dan persen.
Dan tidak boleh mewasiatkan sesuatu yang bukan harta seperti bangkai atau
sesuatu yang tidak memiliki nilai bagi kedua orang berakad, seperti khamar bagi
kaum muslim.
d.
Orang
yang menerima wasiat
Para
ahli hukum Islam sepakat bahwa orang – orang atau badan yang menerima wasiat
adalah bukan ahli waris dan secara hukum dapat dipandang cakap untuk memiliki
sesuatu hak atau benda. Menurut Abbdurrahman
Al Jaziri[11] di kalangan mazhab Hanafi orang yang menerima wasiat (muushaa lahu)
disyaratkan harus :
1.
Mempunyai
keahlian memiliki jika tidak sah berwasiat kepada orang yang tidak bisa
memiliki
2.
Orang
yang menerima wasiat itu masih hidup ketika dilangsungkan ucapan wasiat,
meskipun dalam perkiraan, karena itu bisa memasukkan wasiat kepada janin yang
masih ada dalam perut ibunya.
3.
Yang
menerima wasiat itu tidak melakukan pembunuhan terhadap orang yang berwasiat
secara sengaja atau secara salah.
4.
Orang
yang diwasiati itu tidak disyariatkan harus orang Islam oleh karena itu sah
saja wasiat orang muslim kepada orang kafir zimi, kecuali kepada orang kafir
harbi yang berada di kawasan perang musuh
5.
Wasiat
tersebut tidak ditunjukkan kepada orang yang murtad, sedangkan wasiat orang
kafir zimi yang ditujukan kepada orang Islam adalah sah.
e.
Barang
yang diwasiatkan
Barang
yang diwasiatkan haruslah yang bisa dimiliki seperti harta, rumah dan
kegunaannya. Jadi tidak sah mewariskan barang atau benda yang menurut
kebiasaannya tidak bisa dimiliki secara syar’i seperti minuman keras.
Menurut
Sayyid Sabiq[12] menegaskan bahwa wasiat segala benda atau manfaat seperti buah dari
pohon atau anak dari satu hewan adalah sah, yang penting benda atau manfaat itu
dapat diserahkan kepada orang yang menerima wasiat pada saat orang yang
berwasiat meninggal dunia.
Dalam buku Ensiklopedia Hukum Islam, Ulama Fikih menyatakan bahwa syarat harta yang diwasiatkan adalah:
1.
Yang
diwasiatkan itu sesuatu yang bernilai harta dalam syara’
2.
Yang
diwasiatkan itu adalah sesuatu yang bisa dijadikan milik, baik berupa materi
maupun manfaat
3.
Yang
diwasiatkan itu adalah milik al – musi ketika berlangsungnya wasiat
4.
Harta
yang diwasiatkan itu tidak melebihi sepertiga harta al – musi
f.
Pelaksanaan
Wasiat
Yang
dimaksud pelaksanaan wasiat adalah pernyataan pemberian dan penerimaan wasiat. Sebenarnya
tidak ada redaksi khusus untuk wasiat ini, wasiat sah diucapkan dengan redaksi
bagaimana yang bisa dianggap menyatakan pemberian hak pemilikan secara sukarela
sesudah seseorang meninggal dunia.
Chairuman
Pasaribu dan Suhrawardi Lubis[13] mengatakan bahwa dalam pelaksanaan wasiat yang mensyaratkan harus
ada ijab kabul secara tegas dan pasti terlampau mengada – ada. Dalam Al –
Qur’an dan Hadist yang berkenaan dengan masalah wasiat ini sudah jelas
tergambar bahwa tidak mesti ada kabul dilaksanakan kalau seandainya penerima
wasiat tidak ada di tempat.
Dalam pasal 944 B.W. syarat-syarat bagi orang-orang yang
akan menjadi saksi dalam membuat testament adalah :
1.
Harus Dewasa, berumur 21 tahun keatas atau sudah kawin
2.
Harus penduduk Indonesia
3.
Harus mengerti bahasa yang dipakai dalam membuat testament tersebut
Dalam ayat 2 pasal 944
B.W. ditambahkan syarat-syarat bagi saksi dalam pembuatan testament tak rahasia
(openbaar testament) yaitu tidak diperbolehkan menjadi saksi adalah :
1.
Para ahli waris atau orang-orang yang dihibahi barang-barang atau sanak
keluarga sampai tingkat ke-4
2.
Anak-anak, cucu-cucu, serta anak-anak menantu atau cucu-cucu menantu dari
notaris
3.
Pelayan-pelayan dari notaris.
2.
Rukun Wasiat
Sulaiman Rasjid dalam
bukunya ‘Fiqh Islam’[14] mengatakan bahwa rukun wasiat adalah :
ü Ada orang yang berwasiat, hendaklah bersifat mukallaf dan berhak berbuat
kebaikan serta dengan kehendaknya sendiri.
ü Ada yang menerima wasiat
(mausilah). Wasiat hanya ditujukan
kepada orang yang bukan ahli waris. jika diberikan kepada ahli waris, wasiat
tidak sah, kecuali apabila diridhakan oleh semua ahli waris yang lain setelah
meninggalnya yang berwasiat. Ketika berwasiat hendaklah dipersaksikan oleh
sekurang-kurangnya dua orang yang adil.
Hadits No. 987 Bulugul
Maram
|
||
Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu berkata:
Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada tiap-tiap yang berhak dan tidak
ada wasiat untuk ahli waris." Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali
Nasa'i. Hadits hasah menurut Ahmad dan Tirmidzi, dan dikuatkan oleh Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu al-Jarud.
|
|
َوَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ رضي الله عنه سَمِعْتُ رَسُولَ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : ( إِنَّ اَللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي
حَقٍّ حَقَّهُ , فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ ,
وَالْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ , وَحَسَّنَهُ أَحْمَدُ وَاَلتِّرْمِذِيُّ
, وَقَوَّاهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ , وَابْنُ اَلْجَارُودِ
|
Syarat
orang yang diserahi menjalankan wasiat adalah sebagai berikut :
①. Islam
②. Baligh
③. Berakal
④. Merdeka
⑤. Amanah
⑥. Cakap untuk menjalankan sebagaimana yang dikehdaki
oleh yang berwasiat
ü Sesuatu yang
diwasiatkan, disyaratkan dapat
berpindah milik dari seorang kepada orang lain. Sesuatu yang diwasiatkan
hendaklah yang berkaitan dengan harta. Hak kekuasaan yang tidak berupa harta,
tidak sah diwasiatkan.
ü Lafaz (kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat .
Rukun wasiat adalah ijab dari
orang yang berwasiat. Ijab dilakukan dengan setiap lafazh yang keluar dari
mulutnya asalkan lafazh ini menunjukkan pemberian kepemilikan yang disandarkan
kepada masa setelah kematian tanpa penukar.
Menurut
Ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa rukun wasiat hanya satu yaitu ijab
(pernyataan pemberian wasiat dari pemilik harta yang akan wafat). Karena
menurut mereka wasiat adalah akad yang hanya mengikat pihak yang berwasiat
sedangkan bagi pihak penerima wasiat akad itu tidak bersifat mengikat.
Akan
tetapi menurut jumhur ulama fikih, rukun wasiat terdiri atas :
1.
Al
– musi (orang yang berwasiat)
2.
Al
– musalah (yang menerima wasiat)
3.
Al
– musa bih (harta yang diwasiatkan)
4.
Sigah
(lafal ijab dan kabul)
Sebagaimana
boleh dilakukan dengan ungkapan, wasiat juga boleh dilakukan
dengan isyarat yang dapat dipahami ketika
orang yang berwasiat tidak mampu berbicara. Di samping itu, wasiat juga boleh
dilakukan dengan tulisan.
Wasiat
telah sempurna dengan ijab saja karena dalam kondisi ini ia menjadi sedekah.
Adapun jika wasiat diberikan kepada orang tertentu, maka ia membutuhkan kabul
dari orang yang diberi wasiat setelah kematian orang yang berwasiat atau kabul
dari walinya jika dia tidak berakaln jika dia menerima (mengucapkan kabul),
maka wasiat tersebut telah sempurna dan jika dia menolak setelah kematian orang
yang berwasiat, maka wasiat tersebut batal dan tetap menjadi milik ahli waris
yang berwasiat.
Ulama fikih menetapkan bahwa
sigah ijab dan kabul yang dipergunakan dalam wasiat harus jelas, dan kabul dan
ijab harus sejalan. Jumhur ulama yang menjadikan ijab dan kabul sebagai salah
satu rukun wasiat mengatakn bahwa kabul dari pihak yang diberi wasiat, tidak
disyaratkan segera setelah ijab. Menurut ulama Mazhab Hanafi kabul boleh
diucapkan sebelum atau sesudah orang yang berwasiat wafat. Ulama fikih juga
sepakat tidak mensyaratkan kabul apabila wasiat itu ditujukan untuk kepentingan
umum.
Sigah
dan kabul yang dipergunakan untuk mengungkapkan wasiat itu bisa disampingkan
secara lisan, tulisan dan isyarat yang bisa dipahami. Ulama sepakat menyatakan
bahwa wasiat itu bisa diijabkan dengan lisan dan tulisan dan kabulnya juga
dengan lisan dan tulisan
Wasiat
termasuk akad yang tidak mengikat. Di dalamnya orang yang berwasiat boleh
melakukan perubahan, boleh menarik kembali apa saja yang dikehendakinya dan
boleh membatalkan wasiatnya.
D.
Besarnya harta wasiat dan pembagiannya
1. Wasiat menurut hukum Islam
Menurut hukum Islam, sebanyak-banyaknya wasiat adalah 1/3
bagian dari harta warisan, setelah dikurangi dengan hutang-hutangnya si
peninggal warisan , tidak boleh lebih dari 1/3, kecuali apabila diizinkan oleh
semua ahli waris setelah orang yang berwasiat meninggal. Dengan kata lain, 2/3
dari bagian harta warisan harus tersedia untuk para ahli waris. bahkan, jika
para ahli waris itu miskin, dianjurkan agar bagian harta warisan yang diberikan
kepada orang lain itu diperkecil sangat kurang dari 1/3 bagian. Hadits
Rasulullah SAW :
Hadits No. 985
|
||
Saad Ibnu Waqqash Radliyallaahu 'anhu berkata:
Aku berkata, wahai Rasulullah, aku mempunyai harta dan tidak ada yang
mewarisiku kecuali anak perempuanku satu-satunya. Bolehkah aku bersedekah
dengan dua pertiga hartaku? Beliau menjawab: "Tidak boleh." Aku bertanya:
Apakah aku menyedekahkan setengahnya? Beliau menjawab: "Tidak
boleh." Aku bertanya lagi: Apakah aku sedekahkan sepertiganya? Beliau
menjawab: "Ya, sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya
engkau meninggalkan ahli warismu kaya lebih baik daripada engkau meninggalkan
mereka dalam keadaan fakir
meminta-minta kepada orang." Muttafaq Alaihi.
|
َوَعَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رضي الله عنه
قَالَ : قُلْتُ : ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! أَنَا ذُو مَالٍ , وَلَا يَرِثُنِي
إِلَّا اِبْنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ , أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي? قَالَ :
لَا قُلْتُ : أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ ? قَالَ : لَا قُلْتُ :
أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ ? قَالَ : اَلثُّلُثُ , وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ ,
إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً
يَتَكَفَّفُونَ اَلنَّاسَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
|
Jika yang berwasiat memiliki ahli waris, maka dia tidak
boleh mewasiatkan lebih dari 1/3. Jika dia mewasiatkan lebih dari 1/3, maka
wasiatnya ini tidak dilaksanakan. Jika yang berwasiat tidak memiliki ahli
waris, maka dia titak boleh mewasiatkan lebih dari 1/3. Ini pendapat Jumhur
Ulama. Para Ulama mazhab Hanafi, Ishaq, Syariq dan Ahmad berpendapat bahwa dia
boleh mewasiatkan lebih dari 1/3. Ini pendapat Ali dan ibnu Mas’ud. Alasannya
adalah bahwa dalam kondisi ini dia tidak meninggalkan seseorang yang perlu
dikhawatirkan kemiskinannya. Disamping itu, wasiat disebutkan dalam ayat dalam
bentuk mutlak (tanpa batasan) dan As-Sunnah membatasinya dengan orang yang
memiliki ahli waris sehingga orang yang tidak memiliki ahli waris tetap pada
kemutlakannya.
Boleh mewasiatkan sepertiga
harta, tidak boleh lebih dari sepertiga dan sebaiknya kurang dari dari
sepertiga. Jumhur ulama berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari seluruh
harta yang ditinggalkan oleh orang yang berwasiat. Sementara itu, Malik
berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari apa yang diketahui oleh pelaksana
wasiat, tanpa apa yang tersembunyi darinya atau apa yang baru dan tidak
diketahuinya.
Malik
, an – Nakha’i dan Umar bin Abdul Aziz berpendapat, yang dianggap adalah
sepertiga harta letika wasiat dilakukan. Sementara itu Abu Hanifah, Ahmad dan
para ulama mazhab Syafi’i dalam pendapat mereka yang paling benar berpendapat
bahwa yang dianggap adalah sepertiga saat kematian.
Menurut
Juynboll, tidak ditentukan cara tertentu untuk melaksanakan kemauan terakhir
dari si peninggal warisan. Hanya ditentukan bahwa ucapan itu harus tegas dan
terang dengan dihadiri oleh saksi yang dapat membenarkan adanya ucapan itu.
Jika kemauan terakhir ini ditulis dalam suatu surat, maka surat hibah wasiat
ini hanya sah apabila isinya diberitahukan dengan lisan kepada orang-orang
saksi. Penghibahan wasiat memerlukan kabul, yaitu kesediaan orang yang dihibahi
akan menerima barang yang dihibahkan itu. Kabul dilakukan setelah si penghibah
meninggal dunia.
Jika
orang sakit keras sehingga dikhawatirkan akan meninggal dunia, maka pembatasan
sampai 1/3 bagian ini harus dipergunakan dalam hal penghibahan biasa (chenking).
Dapat disimpulkan bahwa larangan untuk
memasukkan lebih dari 1/3 bagian dari harta warisan dalam suatu hibah wasiat
untuk diserahkan kepada orang-orang bukan ahli waris. Apabila seorang pemilik
harta kekayaan pada waktu masih sehat wal’afiat dan segar bugar¾tidak
dalam keadaan sakit keras, dapat menghibahkan secara biasa barang-barangnya
kepada siapa saja yang dikehendaki. Dengan demikian, barang-barang ang
dihibahkan itu seketika itu juga sudah beralih menjadi milik orang lain atau
badan yang dihibahi.
Jadi,
larangan tersebut hanya meliputi hibah wasiat dan penghibahan biasa pada waktu
ia sakit keras yang menyebabkan wafatnya. Dalam hal ini harus diingat perbedaan besar antara suatu penghibahan biasa dan suatu hibah
wasiat, yaitu bahwa penghibahan biasa pada umumnya tidak dapat ditarik kembali,
sedangkan suatu hibah wasiat dapat ditarik kembali oleh si penghibah. Hal ini karena suatu hibah wasiat merupakan
kemauan terakhir dari seorang manusia sebelum wafat. Maka hibah wasiat yang
ditarik kembali itu, sebetulnya tidak merupakan kemauan terakhir.
Perbedaan antara
hibah biasa dan hibah wasiat ini dapat menyulitkan si penghibah itu sendiri
apabila ia telah terlanjur memberi banyak barang/harta kekayaan kepada anak
angkat, dan dikemudian hari menimbulkan persengketaan antara si penghibah dan
si anak angkat. Penghibahan semacam ini harus disertai dengan syarat bahwa si
penghibah masih dapat menikmati sendiri barang-barang yang dihibahkan itu
sekedar untuk keperluan hidup secara pantas dan tinggal di rumah kediamannya.
Ibnu Abdil Barr berkata :
Para
Salaf
berselisih pendapat tentang jumlah harta yang di dalamnya wasiat dianjurkan
atau diwajibkan bagi orang yang mewajibkannya. Diriwayatkan bahwa Ali berkata
“Enam ratus dirham atau tujuh ratus dirham bukanlah harta yang di dalamnya
terdapat wasiat”
Ibnu Abbas berkata :
“Tidak
ada wasiat dalam delapan ratus dirham”
Ibrahim an – Nakha’i berkata :
“Seribu
dirham sampai lima ratus dirham”
Tentang Firman Allah swt Qs Al Baqarah 180
:
“Qatadah
berkata, “Seribu dirham ke atas”
Diriwayatkan Ali berkata “Barang siapa
meninggalkan sedikit hal itu lebih baik”
Dan tentang orang yang meninggalkan delapan
ratus dirham diriwayatkan bahwa Aisyah berkata, “Dia tidak meninggalkan harta
maka janganlah dia berwasiat”
2. Wasiat Menurut Hukum Adat
Dalam hukum adat adakalanya suatu penghibahan pada waktu seorang
pemilik barang masih segar bugar, dianggap sebagai permulaan dari pembagian
harta warisan si penghibah. Hukum adat sama sekali tidak mengatur cara tertentu untuk mengadakan
hibah wasiat.
Biasanya kemauan terakhir diucapkan pada waktu si
peninggal warisan sudah sakit keras yang menyebabkan wafatnya. Jika ini
terjadi, ucapan ini dihadiri oleh beberapa orang dari sanak keluarga yang dekat tali kekeluargaannya. Menurut Van
Vollenhoven dalam bukunya ‘Hukum Adat Bagian I’ halaman 342, diantara orang-orang Muslim
di Tondano kadang-kadang ada suatu ucapan kemauan terakhir oleh orang yang
tidak mempunyai anak dengan dihadiri oleh Kepala Desa dan beberapa orang dari
desa itu.
Ucapan kemauan terakhir ini di Jawa dinamakan Wekas,
di Minangkabau disebut Umanat, di Aceh disebut Peuneusan,
dan di Batak dengan sebutan Ngeudeskan. Pada umumnya, maksud dari ucapan-ucapan
tersebut ialah merupakan usaha untuk menghindarkan keributan dan cekcok dalam
membagi harta warisan dikemudian hari antara para ahli waris.
Dikota-kota besar, ucapan kemauan terakhir ini disaksikan
oleh seorang notaris. Notaris akan mencatat ucapan itu sebaik-baiknya dengan
disaksika oleh dua orang saksi, kecuali apabila sipeninggal warisan ingin merahasiakan
ucapan itu hingga akhir hayatnya.
\ Seringkali ucapan kemauan terakhir ini mengandung anjuran
semata-mata kepada ahli waris untuk dengan ikhlas hati memberikan sebagian
harta warisan kepada sanak keluarga yang sedikit jauh tali kekeluargaannya dan oleh sebab itu
tidak berhak atas suatu bagian dari harta warisan, tetapi ada tali persahabatan
yang erat antara ia dan si peninggal warisan.
Ada juga seorang peninggal warisan mengeluarkan keinginan
akan menunjuk seseorang untuk memelihara seterusnya anak-anak si peninggal
warisan yang masih kecil. , terutama jika anak-anak itu sudah tidak mempunyai
orang tua. Sering seorang peninggal warisan menuliskan kemauan terakhir dalam
suatu surat, yang dibacakan dimuka umum di hadapan beberapa orang sanak
keluarga yang diminta turut menandatangani surat itu.
3. Wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam pasal 194 ayat (1) menyatakan bahwa Orang yang
telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan
dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
Kepemilikan harta yang diwasiatkan baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat
meninggal dunia (3). Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi,
atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris pasal 195 (1).
Besarnya harta wasiat adalah sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua
ahli waris menyetujui dan berlaku bila
disetujui oleh semua ahli waris (2)(3). Apabila wasiat melebihi sepertiga dari
harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya
dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya (Pasal 201)
Dalam wasiat harus disebutkan dengan jelas dan tegas
siapa saja yang ditunjuk menerima wasiat
baik itu wasiat secara lisan ataupun tertulis (lihat pasal 196). Wasiat tidak
diperbolehkan kepada :
1.
orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang
yang memberi tuntutran kerohanian sewaktu ia mewnderita sakit sehingga
meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa
(Pasal 207)
2.
Notaris dan saksi-saksi pembuat akte tersebut (Pasal 208)
.
4. Wasiat Menurut Hukum
Burgerlijk Wetboek
Berdasarkan pasal 931 B.W
ada tiga macam cara untuk membuat hibah wasiat, yaitu :
a)
Testament rahasia (geheim)
Syarat-syarat
untuk testament rahasia ini ditentukan dalam pasal 940[15] dan pasal 941 B.W.
ditentukan si peninggal warisan harus menulis sendiri atau menyuruh orang lain
untuk menulis kemauan terakhirnya itu. Kemudian ia harus menandatangani tulisan
itu. Notaris membuat akta ‘superscriptie’¾untuk membenarkan keterangan yang dibuat si
peninggal . Akta ini harus ditandatangani oleh notaris, peninggal warisan, dan
saksi-saksi. Dalam pasal 940 bahwa testament rahasia ini harus disimpan oleh
notaris.
Pasal
943 B.W menyebutkan kewajiban notaris untuk memberitahukan adanya testament ini
kepada orang-orang yang berkepentingan apabila penghibah wasiat meninggal
dunia.
Pasal 935
B.W sipeninggal warisan diperbolehkan menulis kemauan terakhir dalam surat
dibawah tangan¾tidak dengan campur
tangan seorang notaris , tetapi hanya
tentang pengangkatan orang-orang yang diwajibkan melaksankan testament
(executeur testamentair), tentang pemesanan hal penguburan dan tentang
penghibahan pakaian, barang perhiasan, dan mebel-mebel.
b)
Testament tak rahasia (openbaar)
Ketiga cara diatas
diperlukan campur tangan seorang notaris
E.
Pembagian Wasiat
Barang yang diwasiatkan tidak
dimiliki oleh orang yang diberi wasiat kecuali setelah kematian orang yang
berwasiat dan utang – utangnya telah dibayar. Jika utang – utangnya tersebut
menghabiskan seluruh harta warisan maka orang yang diberi wasiat tidak
mendapatkan apa – apa. Dalilnya adalah firman Allah swt QS An Nisa 12 :
* öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3t £`ßg©9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù tb$2 Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç/9$# $£JÏB z`ò2ts? 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur úüϹqã !$ygÎ/ ÷rr& &úøïy 4 Æßgs9ur ßìç/9$# $£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6t öNä3©9 Ós9ur 4 bÎ*sù tb$2 öNà6s9 Ó$s!ur £`ßgn=sù ß`ßJV9$# $£JÏB Läêò2ts? 4 .`ÏiB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur cqß¹qè? !$ygÎ/ ÷rr& &ûøïy 3 bÎ)ur c%x. ×@ã_u ß^uqã »'s#»n=2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îr& ÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß¡9$# 4 bÎ*sù (#þqçR%2 usYò2r& `ÏB y7Ï9ºs ôMßgsù âä!%2uà° Îû Ï]è=W9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur 4Ó|»qã !$pkÍ5 ÷rr& Aûøïy uöxî 9h!$ÒãB 4 Zp§Ï¹ur z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÎ=ym ÇÊËÈ
12. Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak.
jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang- hutangmu. jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta.
tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya
dengan tidak memberi mudharat
(kepada ahli waris)[17].
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at
yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
F. Pencabutan dan Pembatalan Wasiat
Dalam
Syariat Islam, wasiat tidak harus dikeluarkan dalam suatu testamen yang dibuat
dihadapan notaris sebagaimana yang dilaksanakan dalam hukum perdata. Oleh
karena itu setiap orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa
adanya paksaan dapat dengan mudah mewasiatkan sebagian hartanya untuk orang
lain atau untuk suatu lembaga, atau kepada ahli warisnya yang lain. Pernyataan dari
ahli waris yang menyetujui ini harus diucapkan secara lisan atau dapat secara
tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dibuat dihadapan notaris. Dalam surat
wasiat baik dibuat secara tertulis maupun secara lisan, harus diterangkan
dengan jelas dan tegas siapa – siapa saja, atau lembaga mana saja yang ditunjuk
untuk menerima harta yang diwasiatkan.
Wasiat
itu suatu keharusan yang harus dilaksanakan oleh seorang untuk memberi wasiat
atau menerima wasiat. Oleh karena itu orang yang memberi wasiat itu boleh saja
menarik kembali wasiat yang dinyatakan, baik itu wasiat yang berkenaan dengan
harta, manfaat ataupun hal yang berkenaan dengan kekuasaan atau wilayah.
Pencabutan kembali wasiat itu dapat dilaksanakan dengan lisan atau dengan
perbuatan.
Sayyid
Sabiq[18] mengatakan bahwa wasiat itu termasuk ke dalam perjanjian yang
dibolehkan oleh hukum, tetapi di dalam perjanjian itu orang yang memberi wasiat
boleh saja mengubah wasiatnya atau menarik kembali apa yang dikehendaki dari
wasiatnya atau menarik kembali apa yang diwasiatkan itu baik secara lisan
maupun secara perbuatan.
Dalam
Pasal 199 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa :
1.
Pewasiat
dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan
persetujuannnya atau menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali
2.
Pencabutan
wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau
tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris
3.
Bila
wasiat dilakukan secara tertulis maka pencabutan hanya dapat dilakukan secara
tertulis dengan dua orang saksi atau dengan akta notaris
4.
Apabila
wasiat dilakukan dengan akta notaris maka pencabutan hanya dapat dilakukan
dengan akta notaris
Dalam
rumusan fikih tradisional dikemukakan bahwa wasiat dapat saja batal jika orang
yang memberi wasiat tidak cakap bertindak hukum atau orang yang memberi wasiat
itu tidak berhak atas barang yang diwasiatkan itu, wasiat juga batal jika orang
yang menerima wasiat itu lebih dahulu meninggal dunia daripada orang yang
memberi wasiat dan wasiat juga bisa batal jika barang yang diwariskan itu
musnah sebelum barang tersebut diterima oleh orang yang menerima wasiat. Sayyid
Sabiq[19] merumuskan hal – hal yang membatalkan wasiat yaitu jika orang yang
memberi wasiat menderita sakit gila hingga meninggal dunia, jika orang yang
menerima wasiat meninggal dunia dan jika benda yang diwasiatkan itu rusak
sebeelum diterima oleh orang atau badan yang menerima wasiat itu.
Sementara
itu Peunoh Daly sebagaiman yang dikutip oleh Ahmad Rofiq[20] memerinci hal – hal yang menjadikan wasiat batal yaitu :
1.
Yang
menerima wasiat dengan sengaja membunuh pemberi wasiat
2.
Yang
menerima wasiat meninggal lebih dahulu dari si pemberi wasiat
3.
Yang
menerima wasiat menolak wasiat yang diberikan itu sesudah meninggalnya pemberi
wasiat
4.
Barang
yang diwasiatkan itu ternyata kemudian bukan milik yang berwasiat
5.
Yang
berwasiat menarik kembali wasiatnya
6.
Yang
memberi wasiat hilang kecakapannya dalam melakukan perbuatan hukum karena gila
terus menerus sampai meninggal dunia
Dalam Pasal 197 Ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa wasiat bisa dibatalkan
apabila calon penerima wasiat berdasarkan keputusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap dihukum karena :
1.
Dipersalahkan
telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat si pewaris
2.
Dipersalahkan
secara memfitnah telah membuat pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan
kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau lebih
3.
Dipersalahkan
telah dengan kekerasan ancaman mencegah pewasiat membuat atau mengubah wasiat
untuk kepentingan calon penerima wasiat
4.
Dipersalahkan
telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari orang yang
memberi wasiat
Dalam Pasal
197 Ayat (2) dikemukakan bahwa wasiat menjadi batal apabila calon penerima
wasiat itu :
1.
Tidak
mengetahui adanya wasiat sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya
pewasiat
2.
Mengetahui
adanya wasiat tersebut tetapi ia menolak menerimanya
3.
Mengetahui
adanya wasiat tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia
meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat
Wasiat bisa
menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah. Selanjutnya dalam Pasal
207 Kompilasi Hukum Islam dikemukakan bahwa wasiat tidak diperbolehkan kepada
orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang
memberi tuntutan kerohanian sewaktu ia menderita sakit sehingga meninggalnya.
Kemudian dalam Pasal 208 juga disebutkan bahwa wasiat tidak berlaku bagi
notaris dan saksi – saksi pembuat akta wasiat.
[1] Ahmad Rafiq,Hukum Islam di Indonesia,Manajemen PT RajaGrafindo
Persada,Jakarta, cet. Pertama, 1987
[2] Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 415
[3] Abdurrahman Al Jaziri, Op. Cit., hlm.327
[4] R. Suyoto Bakir, Sigit
Suryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia , (Batam, Karisma Publishing Group,
2006).hal. 639
[5] Surat wasiat atau
testament ialah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya
akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan olehnya dapat dicabut kembali
lagi.
[6] Eman Suparman, Inti Sari Hukum Waris Indonesia, CV Mandar Maju,
Bandung,1991, hlm. 93-94
[8] Ma'ruf ialah adil dan baik. Wasiat itu
tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. Ayat
ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.
[9] Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan Abi Dawud, Kitab Al –
Washaya, Bab Karahiyati al – idhrar fi al – washiyyah, jilid III, hlm 289
[10] Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 416
[11] Abdurrahman Al Jaziri, Op. Cit., hlm 527-528
[12] Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 254
[13] Chairuman Pasaribu, Op. cit., hlm.127
[14] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta, Sinar Baru
Algensindo th. 1964). Cet. Ke-53 hal 371-373
[17] Memberi mudharat kepada waris itu ialah
tindakan-tindakan seperti:
a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka.
b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka.
b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
[18] Sayyid Sabiq, Op. cit., hlm.424
[19] Ibid, hlm.423
[20] Ahmad Rofiq, Op. cit., hlm.460