KAFA’AH DALAM PERNIKAHAN
MAKALAH
Disusun
Sebagai Salah satu Tugas Mata Kuliah Fiqh Munakahat
SITI SADIAH
12214110217
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2013
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala puji dan
syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat
dan karunia-Nya berupa iman, islam dan ilmu serta bimbingann-Nya sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kafa’ah Dalam Pernikahan”.
Makalah ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqh Munakahat. Penulis
berharap, makalah ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan mengenai keserasian/kufu’
dalam pernikahan, hukum kafa’ah, serta ukuran kafa’ah dalam pernikahan.
Penyusun juga mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1
Bapak dosen Drs. H. Muhtar, M.Ag yang telah memberikan ilmunya, bimbingan dan
kesabarannya hingga akhirnya makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.
2
Semua staf dan pegawai perpustakaan yang banyak memberikan referensi buku sehingga penyusun mudah menyusun makalah.
Tentunya makalah
ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penyusun harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Penyusun berharap, makalah ini dapat
bermanfaat untuk ke depan dan
rekan-rekan mahasiswa lainnya. Aamiin.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bogor,
30 April 2013
Penyusun
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Nikah merupakan
salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat
yang sempurna. Oleh karena itu, Agama memerintahkan kepada umatnya untuk
melangsungkan pernikahan bagi yang sudah mampu
sehingga akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsu.
Namun,
seringkali kita mendengar istilah “Sekufu” di dalam sebuah proses pernikahan. Seseorang
yang marah-marah tidak jelas ketika pihak perempuan menolak calon suaminya
karena alasan tidak sekufu. Entah tidak sekufu dalam hal agama, tidak sekufu
nasab (keturunan), atau tidak sekufu dalam hal harta. Sebagai sebuah agama yang
mulia, dengan segala kesempurnaannya, Islam telah mengatur dan menjabarkan
tentang hal ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Kafa’ah ?
2. Bagaimanakah hukum kafa’ah dalam pernikahan?
3. Hal-hal apa sajakah yang dianggap menjadi ukuran Kafa’ah?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memberikan pengetahuan kepada para pembaca tentang hal-hal yang berkaitan
dengan Kafa’ah dalam pernikahan, baik definisi kafa’ah itu sendiri, hukum
kafa’ah maupun hal-hal yang menjadi ukuran Kafa’ah dalam pernikahan.
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kafa’ah
Kafa’ah
atau kufu’ menurut bahasa artinya “setaraf, seimbang atau
keserasian/kesesuaian, serupa, sederajat, atau sebanding”. Sedangkan menurut
istilah hukum Islam, yang dimaksud dengan kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan
yaitu “keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga
masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan”. Atau ,
laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding
dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan.
Jadi, yang
ditekankan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan, keharmonisan dan keserasian,
terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Jika kafa’ah diartikan
sebagai persamaan, maka akan berarti terbentuknya kasta. Sedangkan dalam Islam
tidak dibenarkan adanya kasta, karena kedudukan manusia di sisi Allah SWT
adalah sama, yang membedakan adalah ketakwaannya. Allah SWT berfirman :
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS.
Al-Hujurat : 13)
Keseimbangan
kedudukan antara suami dan istri akan lebih menjamin keharmonisan dan
kesuksesan hidup serta merupakan faktor yang mendorong terciptanya kebahagiaan
suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau
kegoncangan berumah tangga.
Kufu’
adalah hak perempuan dan walinya, keduanya boleh melanggarnya dengan keridhaan
bersama.
B. Hukum Kafa’ah
Kafa’ah
tidak menjadi syarat bagi pernikahan. Tetapi jika tidak dengan keridhaan
masing-masing, yang lain boleh memfasakhkan pernikahan dengan alasan
tidak kufu’ (setingkat). Karena suatu pernikahan yang tidak seimbang,
serasi/sesuai akan menimbulkan problema berkelanjutan dan besar kemungkinan
menyebabkan terjadinya perceraian, oleh karena itu boleh dibatalkan.
Para ulama
berbeda pendapat mengenai hukum kafa’ah dalam pernikahan. Menurut Jumhur Ulama
bahwa kafa’ah dalam pernikahan sangat penting.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafa’ah tidak dijadikan pertimbangan dalam
melangsungkan pernikahan. Musim manapun selama bukan pezina berhak menikah
dengan muslimah manapun selama bukan pezina.
Sementara
mazhab Malikiyah beranggapan bahwa kafa’ah harus dijadikan pertimbangan dalam
pernikahan. Yang dimaksud dengan kafa’ah disini ialah untuk istiqamah dalam
menjalankan ajaran agama dan akhlak. Dikalangan mazhab Maliki tidak
diperselisihkan lagi bahwa apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan
seorang peminum khamr, atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut
berhak menolak perkawinan itu. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan
menceraikan antara keduanya. Begitu pula halnya apabila seorang gadis
dikawinkan dengan pemilik harta haram atau dengan orang yang banyak bersumpah
dengan kata-kata talak.
C. Ukuran Kafa’ah
Sekufu’
dalam pernikahan antara laki-laki dengan perempuan ada lima sifat (menurut
tingkat kedua ibu bapak), yaitu : agama, merdeka atau hamba, perusahaan,
kekayaan, kesejahteraan. [1]
Hal-hal
yang dianggap menjadi ukuran kufu’ adalah sebagai berikut : Klik disini
[1]
Lihat H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta, Sinar Baru Algensindo
th. 1964). Cet. Ke-53 hal 390
No comments:
Post a Comment
silahkan poskan komentar anda..komentar diharap tidak rasisme, santun dan tidak mengandung sara..terima kasih ^_^