Friday 24 July 2015

Wasiat dalam perspektif Fikih, BW, KHI dan Hukum Adat

A.             Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan wasiat?

2.      Bagaimanakah Wasiat  menurut Fikih, BW, KHI dan Hukum Adat ?

3.      Apa hukum wasiat?

4.      Apa saja syarat- syarat dan rukun wasiat?

5.      Berapakah bagian harta yang dapat diwasiatkan?bagaimana menunaikan wasiatnya?

 


BAB II

PEMBAHASAN

A.             Pengertian Wasiat

            Dari segi etimologis, kata Wasiat (al washa-ya) adalah jamak dari kata ‘washiyyah’ seperti Hada-ya jamak dari kata  Hadiyyah. Dalam pengertian hukum syara’, wasiat ialah suatu perjanjian khusus yang disandarkan kepada sesuatu sesudah meninggal. Wasiat juga berarti menjadikan, menaruh kasih sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Secara umum kata wasiat disebutkan dalam Al – Qur’an sebanyak 9 kali, dalam bentuk kata kerja disebut sebanyak 14 kali, dalam bentuk kata benda jadian disebut sebanyak 2 kali, hal yang berhubungan dengan wasiat ini seluruhnya disebut dalam Al – Qur’an sebanyak 25 kali.
            Wasiat berasal dari bahasa Arab ‘washa’ yang berarti menyampaikan. Wasiat adalah harta yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain ketika si pemberi wasiat telah meninggal dunia. Wasiat ialah pesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia. Wasiat (Ar : Al – Wasiyyah = pesan atau janji seseorang kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan baik ketika orang yang berwasiat masih hidup maupun setelah wafat) Wasiat adalah salah satu bentuk sarana tolong menolong antara sesama muslim baik yang bersifat materi maupun manfaat .
            Ulama Fikih mendefinisikan wasiat dengan “Penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik harta itu berbentuk materi maupun berbentuk manfaat.” Adapun wasiat sekalipun akadnya dibuat ketika orang yang berwasiat masih hidup, tetapi hukumnya yang berlaku setelah orang yang berwasiat itu wasfat. Sebelum itu, akad wasiat tersebut tidak mempunyai efek apapun dari segi perpindahan hak milik kepada orang yang diberi wasiat.
            Menurut Ahmad Rafiq[1] dalam bukunya ‘Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia’ para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menurut imbalan atau tabarru. Sayyid Sabiq[2] mengemukakan bahwa pengertian ini adalah sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Hanafi yang mengemukakan bahwa wasiat itu adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan kebendaan maupun manfaat secara sukarela tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut. Sedangkan Al Jaziri[3] menjelaskan bahwa para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali memberi definisi wasiat lebih rinci lagi, mereka mengatakan bahwa wasiat itu adalah suatu transaksi yang mengharuskan orang yang menerima wasiat berhak memiliki sepertiga harta peninggalan orang yang menyatakan wasiat setelah ia meninggal dunia.
            Menurut kamus lengkap bahasa Indonesia, wasiat merupakan kata benda yang memiliki dua arti. Pertama, wasiat artinya pusaka atau  sesuatu yang bertuah . Kedua, wasiat berarti pesan terakhir yang disampaikan oleh orang yang meninggal dunia.[4] Dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia, Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H, mengatakan bahwa perbuatan menetapkan kemauan terakhir ini di Indonesia dinamakan hibah wasiat. Dalam bahasa Belanda dinamakan testament (lihat pasal 875 B.W.[5]).
            Dalam pasal 171 huruf ‘a’  Kompilasi Hukum Islam buku III hukum kewarisan, yang dimaksud wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Ketentuan tentang wasiat ini terdapat dalam Pasal 194 – 209 yang mengatur secara keseluruhan prosedur tentang wasiat.
            Wasiat bukan saja dikenal dalam hukum Islam, tetapi dikenal juga dalam Hukum Perdata BW. Wasiat dalam hukum perdata dikenal dengan nama testamen yang diatur dalam buku kedua bab ketigabelas. Dalam Pasal 875 BW dikemukakan bahwa surat wasiat (testamen) adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali oleh orang yang menyatakan wasiat itu.
            Menurut Eman Suparman[6] dalam hukum adat, wasiat adalah pemberian yang dilaksanakan oleh seseorang kepada ahli warisnya atau orang yang tertentu pelaksanaannya dilakukan setelah orang yang menyatakan wasiat itu meninggal dunia.
           

B.             Dasar Hukum Wasiat

            Dalam syariat Islam, sumber hukum yang mengatur tentang wasiat dapat    ditemui dalam Al-Qur’an surat al – Baqarah ayat 180, Allah mengemukakan apabila seseorang di antara umat manusia sudah ada tanda- tanda kedatangan maut, sedangkan ia mempunyai harta yang banyak, maka ada kewajiban baginya untuk berwasiat terutama kepada ibu bapaknya dan karib kerabatnya.
            Kemudian dalam Al– Qur’an surat al – Maa’idah ayat 106 Allah mengemukakan apabila salah seorang di antara umat manusia menghadapi kematian, sedangkan ia hendak berwasiat maka hendaklah wasiat itu haruslah disaksikan oleh dua orang saksi yang adil atau dua   orang saksi non muslim jika ia sedang dalam perjalanan di muka bumi lalu secara tiba–tiba ia ditimpa banyak kematian. Berdasarkan ayat dan hadits di atas ulama fikih menetapkan bahwa hukum dasar dari wasiat itu adalah sunnah (dianjurkan) karena ayat dan hadits di atas hanya mengandung hukum sunnah. Berdasarkan sumber hukum tentang wasiat sebagaiman tersebut diatas, para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang status hukum wasiat ini.
            Mayoritas mereka berpendapat bahwa status hukum wasiat itu tidak fardhu’ain, baik kepada kedua orangtua maupun kepada kerabat yang sudah   menerima warisan atau kepada mereka yang tidak menerima warisan.
            Di kalangan ahli hukum mazhab Hambali menjelaskan bahwa wasiat menjadi wajib apabila wasiat bila tidak dilakukan akan membawa akibat hilangnya hak – hak atau peribadatan. Wasiat menjadi makruh jika wasiat dilaksanakan oleh orang yang tidak meninggalkan harta yang cukup, sedangkan ia mempunyai ahli waris yang membutuhkannya. Wasiat menjadi sunnah jika berwasiat kepada kerabata yang kafir dan tidak bisa mewaris, dengan syarat orang yang meninggal dunia meninggalkan harta yang banyak dan tidak melebihi sepertiga harta. Wasiat menjadi haram jika wasiat dilaksanakan melebihi sepertiga harta yang dimilikinya, atau berwasit kepada orang yang berbuat huru-hara dan merusak. Wasiat menjadi mubah apabila dilaksanakan tidak sesuai dengan petunjuk syar’i seperti wasiat kepada orang yang kaya.[7]


Ü  Disyariatkannya Wasiat
            Wasiat disyariatkan berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma. Dalam Al Qur’an, Allah swt berfirman QS Al Baqarah 180 :

|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ  
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[8], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

          Dalam As Sunnah terdapat hadist – hadist berikut ini :
Ibnu Umar r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
Hadits No. 984
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang muslim tidak berhak mewasiatkan sesuatu yang ia miliki kurang dari dua malam (hari), kecuali jika wasiat itu tertulis disisinya." Muttafaq Alaihi.

ََعَنْ اِبْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( مَا حَقُّ اِمْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ 


Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya seorang laki – laki dan seorang perempuan benar – benar mengerjakan ketaatan kepada Allah selama enam puluh tahun. Lalu kematian mendatangi keduanya. Dan keduanya merugikan (ahli waris) dalam wasiat sehingga ditetapkan neraka bagi keduanya”[9]

C.             Syarat dan Rukun Wasiat

1.     Syarat Wasiat

            Syarat – syarat wasiat adalah terdapat orang yang berwasiat, orang yang diberi sesuatu yang diwasiatkan. Masing – masing memiliki syarat – syarat wasiat yaitu :
a.       Syarat orang yang berwasiat
            Disyariatkan agar orang yang berwasiat adalah orang yang dibolehkan untuk berderma karena memiliki kapabilitas yang sempurna. Kapabilitas yang sempurna adalah jika ia memiliki akal, sudah balig, merdeka, bebas berkehendak dan tidak adanya hajr (larangan untuk membelanjakan harta) karena kebodohan atau kelalaian.[10]
b.      Syarat – syarat orang yang diberi wasiat
Pada orang yang diberi wasiat disyaratkan hal – hal berikut ini :
1.      Orang yang diberi wasiat bukan ahli waris dari orang yang berwasiat
2.      Para ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa jika orang yang diberi wasiat adalah tertentu, maka bagi keabsahan wasiat untuknya disyaratkan agar dia ada pada waktu wasiat dilakukan, baik secara hakiki maupun secara asumtif
3.      Orang yang diberi wasiat tidak membunuh orang yang berwasiat dengan pembunuhan yang diharamkan secara langsung
c.       Syarat sesuatu yang diwasiatkan  
            Disyariatkan agar sesuatu yang diwasiatkan bisa dimiliki setelah kematian orang yang berwasiat dengan salah satu dari sebab – sebab kepemilikan. Dibolehkan mewasiatkan setiap harta yang memiliki nilai boleh mewasiatkan buah yang dihasilkan oleh pohon dan anak yang dikandung oleh sapi betina karena keduanya bisa dimiliki melalui warisan. Juga dibolehkan mewasiatkan piutang, manfaat, seperti penempatan rumah, dan persen. Dan tidak boleh mewasiatkan sesuatu yang bukan harta seperti bangkai atau sesuatu yang tidak memiliki nilai bagi kedua orang berakad, seperti khamar bagi kaum muslim.
d.      Orang yang menerima wasiat
            Para ahli hukum Islam sepakat bahwa orang – orang atau badan yang menerima wasiat adalah bukan ahli waris dan secara hukum dapat dipandang cakap untuk memiliki sesuatu hak atau benda.  Menurut Abbdurrahman Al Jaziri[11] di kalangan mazhab Hanafi orang yang menerima wasiat (muushaa lahu) disyaratkan harus :
1.      Mempunyai keahlian memiliki jika tidak sah berwasiat kepada orang yang tidak bisa memiliki
2.      Orang yang menerima wasiat itu masih hidup ketika dilangsungkan ucapan wasiat, meskipun dalam perkiraan, karena itu bisa memasukkan wasiat kepada janin yang masih ada dalam perut ibunya.
3.      Yang menerima wasiat itu tidak melakukan pembunuhan terhadap orang yang berwasiat secara sengaja atau secara salah.
4.      Orang yang diwasiati itu tidak disyariatkan harus orang Islam oleh karena itu sah saja wasiat orang muslim kepada orang kafir zimi, kecuali kepada orang kafir harbi yang berada di kawasan perang musuh
5.      Wasiat tersebut tidak ditunjukkan kepada orang yang murtad, sedangkan wasiat orang kafir zimi yang ditujukan kepada orang Islam adalah sah.

e.       Barang yang diwasiatkan
            Barang yang diwasiatkan haruslah yang bisa dimiliki seperti harta, rumah dan kegunaannya. Jadi tidak sah mewariskan barang atau benda yang menurut kebiasaannya tidak bisa dimiliki secara syar’i seperti minuman keras.
            Menurut Sayyid Sabiq[12] menegaskan bahwa wasiat segala benda atau manfaat seperti buah dari pohon atau anak dari satu hewan adalah sah, yang penting benda atau manfaat itu dapat diserahkan kepada orang yang menerima wasiat pada saat orang yang berwasiat meninggal dunia.
            Dalam buku Ensiklopedia Hukum Islam, Ulama Fikih menyatakan bahwa syarat harta yang diwasiatkan adalah:
1.      Yang diwasiatkan itu sesuatu yang bernilai harta dalam syara
2.      Yang diwasiatkan itu adalah sesuatu yang bisa dijadikan milik, baik berupa materi maupun manfaat
3.      Yang diwasiatkan itu adalah milik al – musi ketika berlangsungnya wasiat
4.      Harta yang diwasiatkan itu tidak melebihi sepertiga harta al – musi
f.       Pelaksanaan Wasiat
            Yang dimaksud pelaksanaan wasiat adalah pernyataan pemberian dan penerimaan wasiat. Sebenarnya tidak ada redaksi khusus untuk wasiat ini, wasiat sah diucapkan dengan redaksi bagaimana yang bisa dianggap menyatakan pemberian hak pemilikan secara sukarela sesudah seseorang meninggal dunia.
            Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi Lubis[13] mengatakan bahwa dalam pelaksanaan wasiat yang mensyaratkan harus ada ijab kabul secara tegas dan pasti terlampau mengada – ada. Dalam Al – Qur’an dan Hadist yang berkenaan dengan masalah wasiat ini sudah jelas tergambar bahwa tidak mesti ada kabul dilaksanakan kalau seandainya penerima wasiat tidak ada di tempat.
            Dalam pasal 944 B.W. syarat-syarat bagi orang-orang yang akan menjadi saksi dalam membuat testament adalah :
1.     Harus Dewasa, berumur 21 tahun keatas atau sudah kawin
2.     Harus penduduk Indonesia
3.     Harus mengerti bahasa yang dipakai dalam membuat testament tersebut
Dalam ayat 2 pasal 944 B.W. ditambahkan syarat-syarat bagi saksi dalam pembuatan testament tak rahasia (openbaar testament) yaitu tidak diperbolehkan menjadi saksi adalah :
1.     Para ahli waris atau orang-orang yang dihibahi barang-barang atau sanak keluarga sampai tingkat ke-4
2.     Anak-anak, cucu-cucu, serta anak-anak menantu atau cucu-cucu menantu dari notaris
3.     Pelayan-pelayan dari notaris.

2.     Rukun Wasiat

Sulaiman Rasjid dalam bukunya ‘Fiqh Islam’[14] mengatakan bahwa rukun wasiat adalah :
ü  Ada orang yang berwasiat, hendaklah bersifat mukallaf dan berhak berbuat kebaikan serta dengan kehendaknya sendiri.
ü  Ada yang menerima wasiat (mausilah). Wasiat hanya ditujukan kepada orang yang bukan ahli waris. jika diberikan kepada ahli waris, wasiat tidak sah, kecuali apabila diridhakan oleh semua ahli waris yang lain setelah meninggalnya yang berwasiat. Ketika berwasiat hendaklah dipersaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang yang adil.
Hadits No. 987 Bulugul Maram
Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada tiap-tiap yang berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris." Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits hasah menurut Ahmad dan Tirmidzi, dan dikuatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Jarud.

َوَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ رضي الله عنه سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : ( إِنَّ اَللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ , فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ , وَحَسَّنَهُ أَحْمَدُ وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَقَوَّاهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ , وَابْنُ اَلْجَارُودِ
Syarat orang yang diserahi menjalankan wasiat adalah sebagai berikut :
①. Islam
②. Baligh
③. Berakal
④. Merdeka
⑤. Amanah
⑥. Cakap untuk menjalankan sebagaimana yang dikehdaki oleh yang berwasiat

ü  Sesuatu yang diwasiatkan, disyaratkan dapat berpindah milik dari seorang kepada orang lain. Sesuatu yang diwasiatkan hendaklah yang berkaitan dengan harta. Hak kekuasaan yang tidak berupa harta, tidak sah diwasiatkan.
ü  Lafaz (kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat .

            Rukun wasiat adalah ijab dari orang yang berwasiat. Ijab dilakukan dengan setiap lafazh yang keluar dari mulutnya asalkan lafazh ini menunjukkan pemberian kepemilikan yang disandarkan kepada masa setelah kematian tanpa penukar.
            Menurut Ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa rukun wasiat hanya satu yaitu ijab (pernyataan pemberian wasiat dari pemilik harta yang akan wafat). Karena menurut mereka wasiat adalah akad yang hanya mengikat pihak yang berwasiat sedangkan bagi pihak penerima wasiat akad itu tidak bersifat mengikat.
            Akan tetapi menurut jumhur ulama fikih, rukun wasiat terdiri atas :
1.      Al – musi (orang yang berwasiat)
2.      Al – musalah (yang menerima wasiat)
3.      Al – musa bih (harta yang diwasiatkan)
4.      Sigah (lafal ijab dan kabul)
            Sebagaimana boleh dilakukan dengan ungkapan, wasiat juga boleh dilakukan
dengan isyarat yang dapat dipahami ketika orang yang berwasiat tidak mampu berbicara. Di samping itu, wasiat juga boleh dilakukan dengan tulisan.
            Wasiat telah sempurna dengan ijab saja karena dalam kondisi ini ia menjadi sedekah. Adapun jika wasiat diberikan kepada orang tertentu, maka ia membutuhkan kabul dari orang yang diberi wasiat setelah kematian orang yang berwasiat atau kabul dari walinya jika dia tidak berakaln jika dia menerima (mengucapkan kabul), maka wasiat tersebut telah sempurna dan jika dia menolak setelah kematian orang yang berwasiat, maka wasiat tersebut batal dan tetap menjadi milik ahli waris yang berwasiat.
            Ulama fikih menetapkan bahwa sigah ijab dan kabul yang dipergunakan dalam wasiat harus jelas, dan kabul dan ijab harus sejalan. Jumhur ulama yang menjadikan ijab dan kabul sebagai salah satu rukun wasiat mengatakn bahwa kabul dari pihak yang diberi wasiat, tidak disyaratkan segera setelah ijab. Menurut ulama Mazhab Hanafi kabul boleh diucapkan sebelum atau sesudah orang yang berwasiat wafat. Ulama fikih juga sepakat tidak mensyaratkan kabul apabila wasiat itu ditujukan untuk kepentingan umum.
            Sigah dan kabul yang dipergunakan untuk mengungkapkan wasiat itu bisa disampingkan secara lisan, tulisan dan isyarat yang bisa dipahami. Ulama sepakat menyatakan bahwa wasiat itu bisa diijabkan dengan lisan dan tulisan dan kabulnya juga dengan lisan dan tulisan
            Wasiat termasuk akad yang tidak mengikat. Di dalamnya orang yang berwasiat boleh melakukan perubahan, boleh menarik kembali apa saja yang dikehendakinya dan boleh membatalkan wasiatnya. 

D.             Besarnya harta wasiat dan pembagiannya

1.     Wasiat menurut hukum Islam

            Menurut hukum Islam, sebanyak-banyaknya wasiat adalah 1/3 bagian dari harta warisan, setelah dikurangi dengan hutang-hutangnya si peninggal warisan , tidak boleh lebih dari 1/3, kecuali apabila diizinkan oleh semua ahli waris setelah orang yang berwasiat meninggal. Dengan kata lain, 2/3 dari bagian harta warisan harus tersedia untuk para ahli waris. bahkan, jika para ahli waris itu miskin, dianjurkan agar bagian harta warisan yang diberikan kepada orang lain itu diperkecil sangat kurang dari 1/3 bagian. Hadits Rasulullah SAW :

Hadits No. 985
Saad Ibnu Waqqash Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku berkata, wahai Rasulullah, aku mempunyai harta dan tidak ada yang mewarisiku kecuali anak perempuanku satu-satunya. Bolehkah aku bersedekah dengan dua pertiga hartaku? Beliau menjawab: "Tidak boleh." Aku bertanya: Apakah aku menyedekahkan setengahnya? Beliau menjawab: "Tidak boleh." Aku bertanya lagi: Apakah aku sedekahkan sepertiganya? Beliau menjawab: "Ya, sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu kaya lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan fakir  meminta-minta kepada orang." Muttafaq Alaihi.
َوَعَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رضي الله عنه قَالَ : قُلْتُ : ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! أَنَا ذُو مَالٍ , وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا اِبْنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ , أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي? قَالَ : لَا قُلْتُ : أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ ? قَالَ : لَا قُلْتُ : أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ ? قَالَ : اَلثُّلُثُ , وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ , إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ اَلنَّاسَ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ 
            Jika yang berwasiat memiliki ahli waris, maka dia tidak boleh mewasiatkan lebih dari 1/3. Jika dia mewasiatkan lebih dari 1/3, maka wasiatnya ini tidak dilaksanakan. Jika yang berwasiat tidak memiliki ahli waris, maka dia titak boleh mewasiatkan lebih dari 1/3. Ini pendapat Jumhur Ulama. Para Ulama mazhab Hanafi, Ishaq, Syariq dan Ahmad berpendapat bahwa dia boleh mewasiatkan lebih dari 1/3. Ini pendapat Ali dan ibnu Mas’ud. Alasannya adalah bahwa dalam kondisi ini dia tidak meninggalkan seseorang yang perlu dikhawatirkan kemiskinannya. Disamping itu, wasiat disebutkan dalam ayat dalam bentuk mutlak (tanpa batasan) dan As-Sunnah membatasinya dengan orang yang memiliki ahli waris sehingga orang yang tidak memiliki ahli waris tetap pada kemutlakannya.
            Boleh mewasiatkan sepertiga harta, tidak boleh lebih dari sepertiga dan sebaiknya kurang dari dari sepertiga. Jumhur ulama berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari seluruh harta yang ditinggalkan oleh orang yang berwasiat. Sementara itu, Malik berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari apa yang diketahui oleh pelaksana wasiat, tanpa apa yang tersembunyi darinya atau apa yang baru dan tidak diketahuinya.
            Malik , an – Nakha’i dan Umar bin Abdul Aziz berpendapat, yang dianggap adalah sepertiga harta letika wasiat dilakukan. Sementara itu Abu Hanifah, Ahmad dan para ulama mazhab Syafi’i dalam pendapat mereka yang paling benar berpendapat bahwa yang dianggap adalah sepertiga saat kematian. 
            Menurut Juynboll, tidak ditentukan cara tertentu untuk melaksanakan kemauan terakhir dari si peninggal warisan. Hanya ditentukan bahwa ucapan itu harus tegas dan terang dengan dihadiri oleh saksi yang dapat membenarkan adanya ucapan itu. Jika kemauan terakhir ini ditulis dalam suatu surat, maka surat hibah wasiat ini hanya sah apabila isinya diberitahukan dengan lisan kepada orang-orang saksi. Penghibahan wasiat memerlukan kabul, yaitu kesediaan orang yang dihibahi akan menerima barang yang dihibahkan itu. Kabul dilakukan setelah si penghibah meninggal dunia.
            Jika orang sakit keras sehingga dikhawatirkan akan meninggal dunia, maka pembatasan sampai 1/3 bagian ini harus dipergunakan dalam hal penghibahan biasa (chenking).  Dapat disimpulkan bahwa larangan untuk memasukkan lebih dari 1/3 bagian dari harta warisan dalam suatu hibah wasiat untuk diserahkan kepada orang-orang bukan ahli waris. Apabila seorang pemilik harta kekayaan pada waktu masih sehat wal’afiat dan segar bugar¾tidak dalam keadaan sakit keras, dapat menghibahkan secara biasa barang-barangnya kepada siapa saja yang dikehendaki. Dengan demikian, barang-barang ang dihibahkan itu seketika itu juga sudah beralih menjadi milik orang lain atau badan yang dihibahi.
            Jadi, larangan tersebut hanya meliputi hibah wasiat dan penghibahan biasa pada waktu ia sakit keras yang menyebabkan wafatnya. Dalam hal ini harus diingat perbedaan besar antara  suatu penghibahan biasa dan suatu hibah wasiat, yaitu bahwa penghibahan biasa pada umumnya tidak dapat ditarik kembali, sedangkan suatu hibah wasiat dapat ditarik kembali oleh si penghibah.  Hal ini karena suatu hibah wasiat merupakan kemauan terakhir dari seorang manusia sebelum wafat. Maka hibah wasiat yang ditarik kembali itu, sebetulnya tidak merupakan kemauan terakhir.
             Perbedaan antara hibah biasa dan hibah wasiat ini dapat menyulitkan si penghibah itu sendiri apabila ia telah terlanjur memberi banyak barang/harta kekayaan kepada anak angkat, dan dikemudian hari menimbulkan persengketaan antara si penghibah dan si anak angkat. Penghibahan semacam ini harus disertai dengan syarat bahwa si penghibah masih dapat menikmati sendiri barang-barang yang dihibahkan itu sekedar untuk keperluan hidup secara pantas dan tinggal di rumah kediamannya.
            Ibnu Abdil Barr berkata :
            Para Salaf berselisih pendapat tentang jumlah harta yang di dalamnya wasiat dianjurkan atau diwajibkan bagi orang yang mewajibkannya. Diriwayatkan bahwa Ali berkata “Enam ratus dirham atau tujuh ratus dirham bukanlah harta yang di dalamnya terdapat wasiat”
Ibnu Abbas berkata :
            “Tidak ada wasiat dalam delapan ratus dirham”
Ibrahim an – Nakha’i berkata :
            “Seribu dirham sampai lima ratus dirham”
Tentang Firman Allah swt Qs Al Baqarah 180 :
            “Qatadah berkata, “Seribu dirham ke atas”
Diriwayatkan Ali berkata “Barang siapa meninggalkan sedikit hal itu lebih baik”
Dan tentang orang yang meninggalkan delapan ratus dirham diriwayatkan bahwa Aisyah berkata, “Dia tidak meninggalkan harta maka janganlah dia berwasiat”

2.     Wasiat Menurut Hukum Adat

            Dalam hukum adat adakalanya suatu penghibahan pada waktu seorang pemilik barang masih segar bugar, dianggap sebagai permulaan dari pembagian harta warisan si penghibah. Hukum adat sama sekali  tidak mengatur cara tertentu untuk mengadakan hibah wasiat.
            Biasanya kemauan terakhir diucapkan pada waktu si peninggal warisan sudah sakit keras yang menyebabkan wafatnya. Jika ini terjadi, ucapan ini dihadiri oleh beberapa orang dari sanak keluarga yang  dekat tali kekeluargaannya. Menurut Van Vollenhoven dalam bukunya ‘Hukum Adat Bagian I’  halaman 342, diantara orang-orang Muslim di Tondano kadang-kadang ada suatu ucapan kemauan terakhir oleh orang yang tidak mempunyai anak dengan dihadiri oleh Kepala Desa dan beberapa orang dari desa itu.
            Ucapan kemauan terakhir ini di Jawa dinamakan Wekas, di Minangkabau disebut Umanat, di Aceh disebut Peuneusan, dan di Batak dengan sebutan Ngeudeskan.  Pada umumnya, maksud dari ucapan-ucapan tersebut ialah merupakan usaha untuk menghindarkan keributan dan cekcok dalam membagi harta warisan dikemudian hari antara para ahli waris.
            Dikota-kota besar, ucapan kemauan terakhir ini disaksikan oleh seorang notaris. Notaris akan mencatat ucapan itu sebaik-baiknya dengan disaksika oleh dua orang saksi, kecuali apabila sipeninggal warisan ingin merahasiakan ucapan itu hingga akhir hayatnya.
\           Seringkali ucapan kemauan terakhir ini mengandung anjuran semata-mata kepada ahli waris untuk dengan ikhlas hati memberikan sebagian harta warisan kepada sanak keluarga yang sedikit  jauh tali kekeluargaannya dan oleh sebab itu tidak berhak atas suatu bagian dari harta warisan, tetapi ada tali persahabatan yang erat antara ia dan si peninggal warisan.
            Ada juga seorang peninggal warisan mengeluarkan keinginan akan menunjuk seseorang untuk memelihara seterusnya anak-anak si peninggal warisan yang masih kecil. , terutama jika anak-anak itu sudah tidak mempunyai orang tua. Sering seorang peninggal warisan menuliskan kemauan terakhir dalam suatu surat, yang dibacakan dimuka umum di hadapan beberapa orang sanak keluarga yang diminta turut menandatangani surat itu.

3.                 Wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam

            Dalam pasal 194 ayat (1) menyatakan bahwa Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. Kepemilikan harta yang diwasiatkan baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia (3). Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris pasal 195 (1). Besarnya harta wasiat adalah sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui  dan berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris (2)(3). Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya (Pasal 201)
            Dalam wasiat harus disebutkan dengan jelas dan tegas siapa saja yang ditunjuk  menerima wasiat baik itu wasiat secara lisan ataupun tertulis (lihat pasal 196). Wasiat tidak diperbolehkan kepada :
1.     orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntutran kerohanian sewaktu ia mewnderita sakit sehingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa (Pasal 207)
2.     Notaris dan saksi-saksi pembuat akte tersebut (Pasal 208)

.
           

4.     Wasiat Menurut Hukum Burgerlijk Wetboek

Berdasarkan pasal 931 B.W ada tiga macam cara untuk membuat hibah wasiat, yaitu :
a)      Testament rahasia (geheim)
Syarat-syarat untuk testament rahasia ini ditentukan dalam pasal 940[15] dan pasal 941 B.W. ditentukan si peninggal warisan harus menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis kemauan terakhirnya itu. Kemudian ia harus menandatangani tulisan itu. Notaris membuat akta ‘superscriptie’¾untuk membenarkan keterangan yang dibuat si peninggal . Akta ini harus ditandatangani oleh notaris, peninggal warisan, dan saksi-saksi. Dalam pasal 940 bahwa testament rahasia ini harus disimpan oleh notaris.
Pasal 943 B.W menyebutkan kewajiban notaris untuk memberitahukan adanya testament ini kepada orang-orang yang berkepentingan apabila penghibah wasiat meninggal dunia.
Pasal 935 B.W sipeninggal warisan diperbolehkan menulis kemauan terakhir dalam surat dibawah tangan¾tidak dengan campur tangan  seorang notaris , tetapi hanya tentang pengangkatan orang-orang yang diwajibkan melaksankan testament (executeur testamentair), tentang pemesanan hal penguburan dan tentang penghibahan pakaian, barang perhiasan, dan mebel-mebel.

b)      Testament tak rahasia (openbaar)
c)      Testament tertulis sendiri (olografis)[16]
Ketiga cara diatas diperlukan campur tangan seorang notaris

E.             Pembagian Wasiat

            Barang yang diwasiatkan tidak dimiliki oleh orang yang diberi wasiat kecuali setelah kematian orang yang berwasiat dan utang – utangnya telah dibayar. Jika utang – utangnya tersebut menghabiskan seluruh harta warisan maka orang yang diberi wasiat tidak mendapatkan apa – apa. Dalilnya adalah firman Allah swt QS An Nisa 12 :
* öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3tƒ £`ßg©9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2  Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç/9$# $£JÏB z`ò2ts? 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur šúüϹqム!$ygÎ/ ÷rr& &úøïyŠ 4  Æßgs9ur ßìç/9$# $£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6tƒ öNä3©9 Ós9ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2 öNà6s9 Ó$s!ur £`ßgn=sù ß`ßJV9$# $£JÏB Läêò2ts? 4 .`ÏiB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur šcqß¹qè? !$ygÎ/ ÷rr& &ûøïyŠ 3 bÎ)ur šc%x. ×@ã_u ß^uqム»'s#»n=Ÿ2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îˆr& ÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß¡9$# 4 bÎ*sù (#þqçR%Ÿ2 uŽsYò2r& `ÏB y7Ï9ºsŒ ôMßgsù âä!%Ÿ2uŽà° Îû Ï]è=W9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur 4Ó|»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ uŽöxî 9h!$ŸÒãB 4 Zp§Ï¹ur z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÎ=ym ÇÊËÈ      
12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka             tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari      harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar                 hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak               mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta                 yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-         hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan    tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam       harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang                 sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan        tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[17]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)                syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

F.             Pencabutan dan Pembatalan  Wasiat  

            Dalam Syariat Islam, wasiat tidak harus dikeluarkan dalam suatu testamen yang dibuat dihadapan notaris sebagaimana yang dilaksanakan dalam hukum perdata. Oleh karena itu setiap orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa adanya paksaan dapat dengan mudah mewasiatkan sebagian hartanya untuk orang lain atau untuk suatu lembaga, atau kepada ahli warisnya yang lain. Pernyataan dari ahli waris yang menyetujui ini harus diucapkan secara lisan atau dapat secara tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dibuat dihadapan notaris. Dalam surat wasiat baik dibuat secara tertulis maupun secara lisan, harus diterangkan dengan jelas dan tegas siapa – siapa saja, atau lembaga mana saja yang ditunjuk untuk menerima harta yang diwasiatkan.
            Wasiat itu suatu keharusan yang harus dilaksanakan oleh seorang untuk memberi wasiat atau menerima wasiat. Oleh karena itu orang yang memberi wasiat itu boleh saja menarik kembali wasiat yang dinyatakan, baik itu wasiat yang berkenaan dengan harta, manfaat ataupun hal yang berkenaan dengan kekuasaan atau wilayah. Pencabutan kembali wasiat itu dapat dilaksanakan dengan lisan atau dengan perbuatan.
            Sayyid Sabiq[18] mengatakan bahwa wasiat itu termasuk ke dalam perjanjian yang dibolehkan oleh hukum, tetapi di dalam perjanjian itu orang yang memberi wasiat boleh saja mengubah wasiatnya atau menarik kembali apa yang dikehendaki dari wasiatnya atau menarik kembali apa yang diwasiatkan itu baik secara lisan maupun secara perbuatan.
            Dalam Pasal 199 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa :
1.      Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannnya atau menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali
2.      Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris
3.      Bila wasiat dilakukan secara tertulis maka pencabutan hanya dapat dilakukan secara tertulis dengan dua orang saksi atau dengan akta notaris
4.      Apabila wasiat dilakukan dengan akta notaris maka pencabutan hanya dapat dilakukan dengan akta notaris
            Dalam rumusan fikih tradisional dikemukakan bahwa wasiat dapat saja batal jika orang yang memberi wasiat tidak cakap bertindak hukum atau orang yang memberi wasiat itu tidak berhak atas barang yang diwasiatkan itu, wasiat juga batal jika orang yang menerima wasiat itu lebih dahulu meninggal dunia daripada orang yang memberi wasiat dan wasiat juga bisa batal jika barang yang diwariskan itu musnah sebelum barang tersebut diterima oleh orang yang menerima wasiat. Sayyid Sabiq[19] merumuskan hal – hal yang membatalkan wasiat yaitu jika orang yang memberi wasiat menderita sakit gila hingga meninggal dunia, jika orang yang menerima wasiat meninggal dunia dan jika benda yang diwasiatkan itu rusak sebeelum diterima oleh orang atau badan yang menerima wasiat itu.
            Sementara itu Peunoh Daly sebagaiman yang dikutip oleh Ahmad Rofiq[20] memerinci hal – hal yang menjadikan wasiat batal yaitu :
1.      Yang menerima wasiat dengan sengaja membunuh pemberi wasiat
2.      Yang menerima wasiat meninggal lebih dahulu dari si pemberi wasiat
3.      Yang menerima wasiat menolak wasiat yang diberikan itu sesudah meninggalnya pemberi wasiat
4.      Barang yang diwasiatkan itu ternyata kemudian bukan milik yang berwasiat
5.      Yang berwasiat menarik kembali wasiatnya
6.      Yang memberi wasiat hilang kecakapannya dalam melakukan perbuatan hukum karena gila terus menerus sampai meninggal dunia
            Dalam Pasal 197 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa wasiat bisa dibatalkan apabila calon penerima wasiat berdasarkan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena :
1.      Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat si pewaris
2.      Dipersalahkan secara memfitnah telah membuat pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau lebih
3.      Dipersalahkan telah dengan kekerasan ancaman mencegah pewasiat membuat atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat
4.      Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari orang yang memberi wasiat
            Dalam Pasal 197 Ayat (2) dikemukakan bahwa wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat itu :
1.      Tidak mengetahui adanya wasiat sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat
2.      Mengetahui adanya wasiat tersebut tetapi ia menolak menerimanya
3.      Mengetahui adanya wasiat tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat
            Wasiat bisa menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah. Selanjutnya dalam Pasal 207 Kompilasi Hukum Islam dikemukakan bahwa wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntutan kerohanian sewaktu ia menderita sakit sehingga meninggalnya. Kemudian dalam Pasal 208 juga disebutkan bahwa wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi – saksi pembuat akta wasiat.



[1] Ahmad Rafiq,Hukum Islam di Indonesia,Manajemen PT RajaGrafindo Persada,Jakarta, cet. Pertama, 1987
[2] Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 415
[3] Abdurrahman Al Jaziri, Op. Cit., hlm.327
[4] R. Suyoto Bakir, Sigit Suryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia , (Batam, Karisma Publishing Group, 2006).hal. 639
[5] Surat wasiat atau testament ialah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan olehnya dapat dicabut kembali lagi.
[6] Eman Suparman, Inti Sari Hukum Waris Indonesia, CV Mandar Maju, Bandung,1991, hlm. 93-94
[7] Abdurahman Al Jaziri, Op. Cit., hlm.328


[8] Ma'ruf ialah adil dan baik. Wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. Ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.
[9] Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan Abi Dawud, Kitab Al – Washaya, Bab Karahiyati al – idhrar fi al – washiyyah, jilid III, hlm 289
[10] Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 416
[11] Abdurrahman Al Jaziri, Op. Cit., hlm 527-528
[12] Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 254
[13] Chairuman Pasaribu, Op. cit., hlm.127
[14] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta, Sinar Baru Algensindo th. 1964). Cet. Ke-53 hal 371-373


[16] biasanya bersifat rahasia tetapi mungkin juga tak rahasia
[17] Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti:
a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka.
b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
[18] Sayyid Sabiq, Op. cit., hlm.424
[19] Ibid, hlm.423
[20] Ahmad Rofiq, Op. cit., hlm.460

No comments:

Post a Comment

silahkan poskan komentar anda..komentar diharap tidak rasisme, santun dan tidak mengandung sara..terima kasih ^_^