Saturday 18 July 2015

PEMBUKTIAN DAN ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

PEMBUKTIAN DAN ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

BAB I    PENDAHULUAN

A.         Latar Belakang

            Suatu perkara di Pengadilan tidak dapat diputus oleh hakim tanpa didahului dengan pembuktian. Dengan kata lain, kalau gugatan penggugat tidak berdasarkan bukti maka perkara tersebut akan diputus juga oleh hakim tetapi putusan yang menolak gugatan karena tidak ada bukti.
            Pembuktian memegang peranan penting dalam pemeriksaan perkara dalam persidangan di pengadilan. Untuk membuktian seseorang terlibat atau tidak, proses pembuktian memegang peranan sangat penting. Melalui pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau tidak.
            Dengan adanya pembuktian, hakim akan mendapat gambaran yang jelas terhadap peristiwa yang sedang menjadi sengketa di pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut maka diketahui tentang apa yang harus dibuktikan, siapa yang seharusnya dibebani pembuktian dan hal-hal yang tidak perlu dibuktikan lagi dalam menyelesaikan suatu perkara.

B.        Rumusan Masalah

1.    Pembuktian
2.    Macam-macam alat bukti






BAB II   PEMBAHASAN

A.        Pembuktian

1.         Pengertian Pembuktian

            Secara etimologis, Pembuktian diambil dari kata ‘bukti’. Kata ‘bukti’  dalam kamus Hukum berarti ‘sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian’. Sedangkan menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, bukti mempunyai empat arti, yaitu pertama, adalah hal yang menjadi tanda perbuatan jahat; kedua, sesuatu yang dijadikan sebagai keterangan nyata; ketiga, sesuatu yang dipakai sebagai landasan keyakinan kebenaran terhadap kenyataan; keempat, sesuatu yang menyatakan kebenaran peristiwa.
            Bukti merupakan segala sesuatu yang dapat meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian. Sedangkan yang dimaksud dengan Pembuktian ialah suatu rangkaian peraturan tata tertib yang dilaksanakan dalam melangsungkan penyelesaian di muka hakim, antara kedua belah pihak yang sedang mencari keadilan.
            Pembuktian menurut istilah bahasa Arab berasal dari kata “Al-bayinah” yang artinya “suatu yg menjelaskan.” Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya At-Turuq al Hukmiyah mengartikan “bayyinah” sebagai segala sesuatu atau apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu.
            Menurut Yahya Harahap, dalam pengertian yang luas, pembuktian adalah kemampuan penggugat atau tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantah hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih diperselisihkan di antara pihak-pihak yang berperkara[1].
            Menurut R. Subekti, yang dimaksud dengan pembuktian adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan didalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim[2].
            Menurut Prof. Dr. Supomo, pembuktian mempunyai arti luas dan arti terbatas. Dalam arti luas, pembuktian berarti memperkuat keyakinan kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang syah. Dalam arti terbatas pembuktian itu hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu di bantah oleh tergugat.
            Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpukan bahwa pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan.    Dalam sengketa yang berlangsung dan sedang diperiksa di muka majelis hakim itu, masing-masing pihak mengajukan dalil-dalil yang saling bertentangan. Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil manakah yang tidak benar. Berdasarkan pemeriksaan yang teliti dan saksama itulah hakim hakim menetapkan hukum atas suatu peristiwa atau kejadian yang telah dianggap benar setelah melalui pembuktian sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku.
            Yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam suatu persengketaan. Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar – benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Untuk membuktikan itu, para pihaklah yang aktif berusaha mencarinya, menghadirkan atau mengetengahkannya ke muka sidang. 

2.         Tujuan Pembuktian

            Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Karena hakim yang harus memeriksa, mengadili dan kemudian memutuskan perkara, maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut. Karena putusan itu diharuskan objektif, maka pembuktian ini diharuskan bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi guna mendapatkan putusan hakim yang adil dan benar.
            Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar – benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil.
            Sesungguhnya, tujuan dari pembuktian adalah berusaha untuk melindungi orang yang tidak bersalah. Dalam hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar ketentuan perundang-undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa adalah, terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun yang tidak bersalah akan mendapat hukuman, atau sekalipun ia bersalah ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung asas equality before the law)[3].

3.         Asas dan Dalil Pembuktian

a.    Asas Pembuktian

selengkapnya silahkan  klik disini



[1] Yahya Harahap dalam Abdul Mannan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Cet.IV; Jakarta: Kencana, 2006), h. 227.
[2] R. Subekti, Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1975), h. 5.
[3] Asas equality before the law berarti adanya perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan. Lihat Luhut MP Pangaribuan, Hukum Acara Pidana:Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advocat (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 3-4.

No comments:

Post a Comment

silahkan poskan komentar anda..komentar diharap tidak rasisme, santun dan tidak mengandung sara..terima kasih ^_^