PEMBUKTIAN DAN ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu perkara di Pengadilan tidak
dapat diputus oleh hakim tanpa didahului dengan pembuktian. Dengan kata lain,
kalau gugatan penggugat tidak berdasarkan bukti maka perkara tersebut akan
diputus juga oleh hakim tetapi putusan yang menolak gugatan karena tidak ada
bukti.
Pembuktian memegang peranan penting
dalam pemeriksaan perkara dalam persidangan di pengadilan. Untuk membuktian
seseorang terlibat atau tidak, proses pembuktian memegang peranan sangat
penting. Melalui pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia
bersalah atau tidak.
Dengan adanya pembuktian, hakim akan
mendapat gambaran yang jelas terhadap peristiwa yang sedang menjadi sengketa di
pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut maka diketahui tentang apa yang
harus dibuktikan, siapa yang seharusnya dibebani pembuktian dan hal-hal yang
tidak perlu dibuktikan lagi dalam menyelesaikan suatu perkara.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Pembuktian
2.
Macam-macam alat bukti
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembuktian
1.
Pengertian
Pembuktian
Secara etimologis, Pembuktian diambil dari
kata ‘bukti’. Kata ‘bukti’ dalam kamus Hukum berarti ‘sesuatu untuk
meyakinkan akan
kebenaran suatu dalil atau pendirian’. Sedangkan menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
bukti mempunyai empat arti, yaitu pertama, adalah hal yang menjadi tanda
perbuatan jahat; kedua, sesuatu yang dijadikan sebagai keterangan nyata;
ketiga, sesuatu yang dipakai sebagai landasan keyakinan kebenaran
terhadap kenyataan; keempat, sesuatu yang menyatakan kebenaran
peristiwa.
Bukti merupakan segala sesuatu yang dapat
meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian. Sedangkan yang dimaksud
dengan Pembuktian ialah suatu rangkaian peraturan tata tertib
yang dilaksanakan dalam melangsungkan penyelesaian di muka hakim, antara kedua
belah pihak yang sedang mencari keadilan.
Pembuktian
menurut istilah bahasa Arab berasal dari kata “Al-bayinah” yang artinya
“suatu yg menjelaskan.” Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam
kitabnya At-Turuq al Hukmiyah mengartikan “bayyinah” sebagai segala sesuatu
atau apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu.
Menurut Yahya Harahap, dalam
pengertian yang luas, pembuktian adalah kemampuan penggugat atau tergugat
memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum
dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantah hubungan hukum yang
diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan
sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih diperselisihkan di
antara pihak-pihak yang berperkara[1].
Menurut R. Subekti, yang
dimaksud dengan pembuktian adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil-dalil yang dikemukakan didalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan
di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim[2].
Menurut Prof.
Dr. Supomo, pembuktian
mempunyai arti luas dan arti terbatas. Dalam arti luas, pembuktian
berarti memperkuat keyakinan kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang
syah. Dalam
arti terbatas pembuktian itu hanya diperlukan apabila yang dikemukakan
oleh penggugat itu di bantah oleh tergugat.
Dari pengertian tersebut, maka dapat
disimpukan bahwa pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk
meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para
pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan. Dalam sengketa yang berlangsung dan sedang
diperiksa di muka majelis hakim itu, masing-masing pihak mengajukan dalil-dalil
yang saling bertentangan. Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil
manakah yang benar dan dalil manakah yang tidak benar. Berdasarkan pemeriksaan
yang teliti dan saksama itulah hakim hakim menetapkan hukum atas suatu
peristiwa atau kejadian yang telah dianggap benar setelah melalui pembuktian
sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan “membuktikan”
adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang
dikemukakan di muka sidang dalam suatu persengketaan. Tujuan pembuktian adalah
untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu
benar – benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Untuk
membuktikan itu, para pihaklah yang aktif berusaha mencarinya, menghadirkan
atau mengetengahkannya ke muka sidang.
2.
Tujuan
Pembuktian
Membuktikan berarti memberi kepastian
kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Karena hakim yang
harus memeriksa, mengadili dan kemudian memutuskan perkara, maka tujuan
pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut.
Karena putusan itu diharuskan objektif, maka pembuktian ini diharuskan
bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang
diajukan itu benar-benar terjadi guna mendapatkan putusan hakim yang adil dan
benar.
Tujuan pembuktian adalah untuk
memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar –
benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil.
Sesungguhnya, tujuan dari pembuktian
adalah berusaha untuk melindungi orang yang tidak bersalah. Dalam hal
pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan
terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar
ketentuan perundang-undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan
kesalahannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa adalah,
terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun yang
tidak bersalah akan mendapat hukuman, atau sekalipun ia bersalah ia tidak
mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung asas equality
before the law)[3].
3.
Asas
dan Dalil Pembuktian
a. Asas Pembuktian
selengkapnya silahkan klik disini
[1]
Yahya Harahap dalam Abdul Mannan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama (Cet.IV; Jakarta: Kencana, 2006), h. 227.
[2] R.
Subekti, Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1975), h. 5.
[3]
Asas equality before the law berarti adanya perlakuan yang sama atas diri
setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan. Lihat
Luhut MP Pangaribuan, Hukum Acara Pidana:Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh
Advocat (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 3-4.
No comments:
Post a Comment
silahkan poskan komentar anda..komentar diharap tidak rasisme, santun dan tidak mengandung sara..terima kasih ^_^