PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum
perkawinan dalam Islam menganggap bahwa
perkawinan adalah sebagai aqad antara pria dan wanita sebagai calon
suami isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut ketentuan yang diatur dalam
syari’at.
surah Annur ayat 32 :
وأنكحوا الأيمى منكم والصلحين من عباد
كم وإما ءكم إن يكونوا فقراء يغنهم الله من
فضله وا الله وا سع عليم
“dan kawinkanlah
orang-orang yang sendirian[1]
diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya)
lagi Maha mengetahui”.(Qs. An-Nur : 32)
dan hadits Rasulullah SAW :
يا معشر الشباب
من استطاع منكم الباء ة فليتزوج فإنه أغض للبصر و أحصن للفرج و من لم يستطع
فعليه با اصوم فإنه له وجاء
"Wahai sekalian pemuda,
barang siapa diantara kalian yang telah mampu hendaklah dia menikah, karena
yang demikian itu lebih menjaga pandangan dan lebih menjaga kemaluannya, dan
barang siapa yang belum mampu hendaklah dia berpuasa, karena itu merupakan
benteng baginya" (Muttafaq
Alaihi)1
Perkawinan
merupakan ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
sehingga disebut sebagai pasangan suami isteri berdasarkan akad nikah yang
diatur menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan
tujuan untuk membentuk keluarga sakinah, mawwaddah, warrahmah atau dengan
ungkapan lain menuju rumah tangga yang bahagia sesuai hukum Islam.
Namun,
fenomena yang terjadi dimasyarakat pada kenyataannya
terkadang pasangan calon pengantin sengaja tidak mencatatkan perkawinannya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bahkan sering
melalaikannya, sehingga terjadilah perkawinan liar atau kawin di bawah tangan
atau yang lebih tren disebut nikah sirri.
Nikah
adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau
masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang
amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga
dapat dipandang sebagai salah satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu
kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan
pertolongan antara satu dengan yang lainnya.[2]
Perkawinan
adalah aqad antara calon laki istri untuk memenuhi hajat jenis kelamin yang
diatur oleh syari’at. Sedangkan pengertian dari nikah sirri adalah nikah secara
rahasia (sembunyi-sembunyi). Disebut secara rahasia karena tidak dilaporkan ke kantor
urusan agama atau KAU bagi muslim atau kantor catatan sipil bagi non muslim.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan nikah sirri
2. Apa latar belakang terjadinya nikh sirri?
3. Bagaimana hukum nikah sirri ditinjau dari perspektif hukum Islam dan Peraturan perundang-undangan yang berlaku?
4. Bagaimanakah akibat yang akan timbul dari nikah sirri?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah Sirri
Dilihat
dari segi etimologis, kata “sirri”
berasal dari bahasa Arab yang berasal
dari infinitif sirran dan sirriyyun. Secara etimologi, kata sirran
berarti secara diam-diam atau tertutup, secara batin, atau di dalam hati.
Sedangkan kata sirriyyun berarti secara rahasia, secara
sembunyi-sembunyi, atau misterius,5 jadi nikah sirri, artinya nikah rahasia (secret
marriage), pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak.6
Mahmud Syalthut
berpendapat bahwa nikah sirri merupakan jenis pernikahan di mana akad
atau transaksinya (antara laki-laki dan perempuan) tidak dihadiri oleh para
saksi, tidak dipublikasikan (i’lan), tidak tercatat secara resmi, dan
sepasang suami isteri itu hidup secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak ada
orang lain selain mereka berdua yang mengetahuinya. Fuqaha berpendapat nikah sirri seperti ini tidak
sah (batal), karena ada satu unsur syarat sah nikah yang tidak terpenuhi yakni
kesaksian. Jika dalam transaksi akad dihadiri dua orang saksi dan
dipublikasikan secara umum, maka nikahnya tidak disebut sirri dan sah
menurut syariat. Namun jika kehadiran para saksi berjanji untuk merahasiakan
dan tidak mempublikasikannya, fuqaha sepakat akan kemakruhannya.
Keputusan
Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia[1] nikah di bawah tangan yang
dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan
syarat yang ditetapkan dalam fiqih (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi
di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perturan perundang-undangan.”
Demikian pula pendapat Prof. H.A. Wasit
Aulawi[2] menjelaskan
apa persisnya yang dimaksud dengan nikah sirri, menyebutkan bahwa “nikah
sirri” adalah pernikahan yang belum diresmikan, belum diumumkan secara
terbuka kepada masyarakat atau pernikahan yang belum dicatatkan pada lembaga
pencatatan. Ini bisa dua-duanya, belum diumumkan secara terbuka kepada
masyarakat, atau mungkin hanya salah satunya saja, yaitu sudah dicatat tapi
belum diadakan resepsi pernikahan / walimatul urs.
Pernikahan sirri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan
berbagai pengertian. sehingga definisi dari nikah siri bermacam-macam yaitu:
1.
Pernikahan tanpa wali
pernikahan ini dilakukan secara rahasia tanpa adanya wali
dari pihak wanita, maka pernikahannya adalah batil dan tidak sah. Rukun dan
syaratnya tidak sempurna sebagaimana yang berlaku pada masa Umar bin Khattab
dan hukumnya sama dengan perbuatan zina, dan pernikahan itu harus dibatalkan
Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak sah nikah kecuali dengan wali." Riwayat Ahmad dan Imam
Empat. Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban.
Sebagian menilainya hadits mursal.
|
|
َوَعَنْ أَبِي بُرْدَةَ
بْنِ أَبِي مُوسَى , عَنْ أَبِيهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه
وسلم ( لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْأَرْبَعَةُ
وَصَحَّحَهُ اِبْنُ اَلْمَدِينِيِّ , وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَابْنُ حِبَّانَ ,
وَأُعِلَّ بِالْإِرْسَالِ
|
2.
Pernikahan yang dilakukan
dengan adanya wali dan terpenuhi rukun dan syarat-syarat lainnya dengan kata
lain bahwa pernikahan yang sah menurut agama namun tidak dicatat oleh petugas
resmi pemerintah, baik oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau di Kantor Urusan
Agama (KUA) dan tidak dipublikasikan. Dari sudut pandangan fikih, perkawinan tersebut dipandang sah, tetapi
apabila terjadi perselisihan, tidak dapat diselesaikan melalui Pengadilan Agama
. Dengan demikian, mudharatnya lebih banyak dari manfaatnya.[3]
3.
Pernikahan yang
dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. misalnya karena takut
mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu
pernikahan siri; karena pertimbagan-pertimbagan yang memaksa seseorang merahasiakan pernikahanya.
Nikah sirri tidak hanya dikenal pada
zaman sekarang ini saja, tetapi juga telah ada pada zaman sahabat . Istilah itu
barasal dari ucapan Umar bin Khattab, pada saat beliau diberitahu, bahawa telah
terjadi pernikahan yang tidak dihadiri oleh saksi, kecuali hanya seorang
laki-laki dan seorang perempuan. Beliau berkata :
هذا نكاح السر ، ولا أجيزه لو كنت تقدمت لرجمت .
‘’ Ini nikah sirri, saya tidak membolehkannya,
dan sekiranya saya tahu lebih dahulu, maka pasti akan saya rajam ‘’
Seharusnya pernikahan itu dihadiri oleh dua
orang saksi laki-laki, sebagai rukun nikah . Hal ini berarti rukun nikah itu
belum sempurna.
Kemudian setelah kita
memperhatikan ucapan Umar bin Khattab ‘’
pasti akan saya rejam ‘’, maka seolah-olah perbuatan itu sama dengan perbuatan
zina, bila kedua suami-istri bercampur.
Imam Abu Hanifah dan
Syafi’I berpendapat, bahawa nikah sirri tidak boleh dan jika terjadi harus di
fasakh ( dibatalkan ) oleh Pengadilan
Agama.
Pendapat di atas
diperkuatkan oleh hadis Rasulullah :
عن ابن عباس أن النبي صلعم قال : البغايا اللاتى ينكحن أنفسهن بغيربينة (
رواه الترمذى )
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, sesungguhnya
Nabi SWA. bersabda : ‘’ Pelacur adalah wanita yang mengawinkan dirinya tanpa (
ada ) bukti ‘’.
Ibnu Abbas juga menegaskan :
لا نكاح إلا ببينة
‘’ Nikah itu tidak sah tanpa bukti ‘’
Kenyataannya dalam
masyarakat kita sering terjadi nikah sirri . Nikah sirri itu dipandang sebagai
perkawinan yang sah menurut agama, tetapi tidak sah menurut undang-undang.
Dilihat
sepintas, pernikahan itu dipandang sah, bila telah memenuhi syarat dan rukunnya
. Namun harus diingat, bahawa pernikahan itu harus tercatat pada Kantor Urusan
Agama .
Biasanya kawin di bawah
tangan dilakukan oleh pejabat ( pegawai ) pemerintah , karena takut terjerat
dengan PP NO. 10 dan PP NO. 30/1980, yang mengatur secara ketat tentang poligami.
Sekiranya perkawinan
itu membuahkan keturunan,
masalahnya akan lebih rumit lagi .
Sebab pada satu saat setelah suami meninggal
dunia, akan ada tuntutan warisan dan sebagainya. Hal ini sudah tentu
tidak dapat ditangani oleh Pengadilan Agama, karena pernikahannya tidak tercatat. .
B. Faktor Pendorong Terjadinya Nikah Sirri
Biasanya nikah siri dilakukan
karena beberapa hal dibawah ini :
1.
Karena kedua pihak belum siap meresmikannya atau meramaikannya, namun
dipihak lain untuk menjadi agar tidak terjadi hal-hal yag tidak dinginkan atau
terjerumus kepada hal-hal yang dilarang agama.
2.
Karena faktor biaya : Tidak mampu membayar biaya penatatan nikah
maupun resepsi
3.
Karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri
nikah lebih dari satu. Calon suami mengawini calon isteri secara diam-diam dan
dirahasiakan hubungannya sebagai suami isteri untuk menghindari hukuman
disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri
sebagai PNS (vide: PP No.10/1983 pasal 4 ayat (1) dan (13). Motif nikahnya itu
terutama untuk pemenuhan kebutuhan biologis yang halal (terhindar dari
perbuatan zina menurut hukum Islam). Sayang, nikahnya tanpa persetujuan isteri
yang terdahulu, atasannya, dan pejabat yang berwenang serta tanpa izin
Pengadilan Agama.
4.
ketidaktahuan masyarakat
terhadap dampak pernikahan sirri
5.
Masyarakat miskin hanya
bisa berpikir jangka pendek, yaitu terpenuhi kebutuhan ekonomi secara mudah dan
cepat. Sebagian yang lain mempercayai, bahwa isteri simpanan kiai, tokoh dan
pejabat mempercepat perolehan status sebagai isteri terpandang di masyarakat,
kebutuhannya tercukupi dan bisa memperbaiki keturunan mereka. Keyakinan itu
begitu dalam terpatri dan mengakar di masyarakat.
Sedangkan menurut Prof.
Dr. Abdul Manan, S.H.,S.Ip., M.Hum.,[4] Hakim Agung Mahkamah Agung RI
menyatakan, adapun faktor-faktor penyebab melakukan perkawinan secara diam-diam
(sirri) antara lain:
1. Pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan masih sangat kurang, mereka masih menganggap bahwa masalah perkawinan itu adalah masalah pribadi dan tidak perlu ada campur tangan pemerintah / negara.
2. Adanya kekhawatiran dari seseorang akan kehilangan hak pensiun janda apabila perkawinan baru didaftarkan pada pejabat pencatat nikah.
3. Tidak ada izin isteri atau isteri-isterinya dan pengadilan agama bagi orang yang bermaksud kawin lebih dari satu orang.
4. Adanya kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang sudah bergaul rapat dengan calon isteri / suami, sehingga dikhawatirkan terjadi hal-hal negatif yang tidak diinginkan, lalu dikawinkan secara diam-diam dan tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama.
5. Adanya kekhawatiran orang tua yang berlebihan terhadap jodoh anaknya, karena anaknya segera dikawinkan dengan suatu harapan pada suatu saat jika sudah mencapai batas umur yang ditentukan terpenuhi, maka perkawinan baru dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
C. Nikah sirri ditinjau dari perspektif hukum Islam dan Peraturan perundang-undangan yang berlaku
1. Menurut Hukum Islam
Pernikahan
yang syarat dan rukunnya terpenuhi sesuai aturan Islam, maka pernikahan itu
dianggap sah walaupun tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Hal ini dikuatkan dengan pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan No.
1/1974 yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”,. Maka dari itu,
perkawinan itu dianggap sah jika menurut agama calon pengantin tersebut sah. Dapat
ditarik kaidah hukum bahwa sah tidaknya perkawinan ditentukan oleh ajaran
agama, bukan oleh undang-undang. Jika menurut agama tidak sah, maka menurut
hukum negara pun tidak sah. Pasal 6 ayat 6 yang berbunyi: “Ketentuan
tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain”.
Dengan
demikian perkawinan yang sah menurut agama maka sah menurut peraturan
perundang-undangan.
2. Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Pasal
2 ayat 2, berbunyi: “ Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dalam
Penjelasan Umum dinyatakan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama
halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang.
Misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan,
suatu akte resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. Perkawinan yang tercatat
di KUA memiliki kekuatan hukum. Kekuatan
hukum artinya kekuatan pembuktian secara legal formal dan kekuatan mengikat
kepada pihak-pihak yang berwenang. Perkawinan yang tidak memiliki kekuatan
hukum berdampak yuridis terhadap hak-hak pelayanan publik oleh instansi yang
berwenang bagi pelakunya. Mereka tidak memperoleh perlindungan dan pelayanan
hukum oleh instansi yang berwenang sebagaimana mestinya. Perkawinan mereka
tidak diakui dalam daftar kependudukan, tidak dapat memperoleh akte kelahiran
bagi anak-anak mereka dan seterusnya. Dengan kata lain, pernikahan sirri banyak
membawa madharat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Karena
perkawinan sirri banyak dampak buruknya maka peraturan perundang-undangan
menggariskan bahwa setiap perkawinan harus dilakukan di hadapan pejabat dan
didaftarkan dalam register yang disediakan untuk itu. Keharusan dilaksanakan di
hadapan pejabat dan dicatat dikandung maksud agar tercipta ketertiban dan
kepastian hukum. Perkawinan yang tidak dilaksanakan di hadapan pejabat dan atau
tidak dicatat (di bawah tangan) tidak memenuhi aspek hukum administrasi negara
sehingga tidak memiliki dokumen resmi dari negara (akte nikah) dan berimplikasi
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pencatatan
nikah memiliki arti yang positif, karena akta nikah merupakan bukti yang
autetik sahnya perkawinan seseorang dan sangat bermanfaat bagi dirinya dan
keluarganya, seperti:
1.
Untuk menolak kemungkinan
dikemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinannya
2.
Memudahkan pembagian harta
bersama dalam perkawinan dan waris
3.
Melindungi dari fitnah
1. Menurut KUH Perdata
Bab keempat tentang perkawinan,
bagian kesatu nomor 27 menyatakan bahwa “dalam waktu yang sama seorang laki
hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai isterinya, seorang
perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya”. Dengan demikian, KUH
Perdata menganut asas monogami yang mana si suami dan istri tidak boleh mempunyai
pasangan hidup lebih dari satu.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Pasal 4 KHI berbunyi : “perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”
Pasal 5 : “agar
terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus
dicatat”.
Pasal 6 ayat 1 : “untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5,
setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah”.
Pasal 6 ayat 2 : “ perkawinan
yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai
kekuatan hukum”.
Pasal 7 ayat 1 : “Perkawinan hanya dapat dibuktikan
dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”
Jadi, pernikahan
yang sah dan legal adalah jika pernikahan itu
sah dilaksanakan sesuai dengan
ajaran agama yang dianut mempelai pria dan wanita dan legal pula karena telah
tercatat di lembaga perkawinan (KUA,
PPN/Kantor Catatan Sipil). Jika pernikahan itu hanya sah menurut agama saja,
maka akan mengganggu ketertiban perkawinan bagi masyarakat dan akan banyak
permasalahan yang timbul karena tidak mempunyai akta nikah dimana hal tersebut
adalah merupakan alat bukti perkawinan yang sah dan mempunyai kekuatan hukum.
B. Akibat Hukum dari Nikah Sirri
Pencatatan nikah sangat urgen dan sangat berdampak
terhadap kehidupan berumah tangga. Diantara dampak yang akan timbul dari
pernikahan yang tidak tercatat adalah sebagai berikut :
1.
Perkawinan dianggap tidak
sah karena belum dicatat di KUA atau Kantor Catatan Sipil walaupun menurut
agama telah sah.
2.
Istri tidak dapat menuntut suami untuk memberikan
nafkah baik lahir maupun batin.
3.
Tidak adanya kejelasan
status isteri dan anak, baik di mata Hukum Indonesia maupun di mata masyarakat sekitar. Anak hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
4.
Untuk hubungan keperdataan
maupun tanggung jawab sebagai seorang suami sekaligus ayah terhadap anakpun
tidak ada. “seperti nasib anak hasil dari pernikahan yang dianggap nikah siri
itu, akan terkatung-katung. Tidak bisa sekolah karena tidak punya akta
kelahiran. Sedangkan, semua sekolah saat ini mensyaratkan akta kelahiran,”
5.
Dalam hal pewarisan,
anak-anak yang lahir dari pernikahan siri maupun isteri yang dinikahi secara siri,
akan sulit untuk menuntut haknya, karena tidak ada bukti yang menunjang tentang
adanya hubungan hukum antara anak tersebut dengan bapaknya atau antara isteri
siri dengan suaminya tersebut.
6.
Apabila terjadi
perselisihan antara suami-istri, maka perkaranya tidak dapat diajukan ke
Pengadilan Agama, kerana tidak tercatat . Disinilah terletak kerugian, terutama
bagi istri .
7.
Bukan hanya berdampak buruk bagi prempuan saja, perkawinan dibawah
tangan juga berdampak buruk bagi si suami, karena mau tidak mau dia harus
mencari celah dan bahkan berdusta kepada isterinya bila akan pergi kepada
isteri yang akan dikawini secara sembunyi-sembunyi.
Sudah jelaslah bahwa nikah
sirri lebih banyak madharatnya daripada maslahatnya. Nikah sirri bermaslahat
agar tidak terjerumus kedalam perzinahan. Namun, tidak salah pula jika Undang-undang mengatur agar setiap perkawinan
itu dicatat dan tentunya memiliki banyak manfaat yang berpengaruh terhadap
kehidupan pribadi dan bermasyarakat. Maka seyogyanya jika seseorang ingin menikah,
hendaklah dia mencatatkannya di KUA setempat atau di Pencatatan Sipil agar
terhindar dari mafsadat yang merugikan yang akan mempersulit kehidupannya dan
kehidupan keturunannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nikah sirri adalah nikah yang sah menurut agama
tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum dikarenakan tidak tercatat di KUA atau
Kantor catatan Sipil.
Sebab-sebab terjadinya nikah sirri :
1.
Agar terhindar dari dosa. Walaupun kedua pihak belum siap meresmikannya
atau meramaikannya
2.
Faktor ekonomi
3.
Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai dampak nikah sirri
4.
Ketakutan orang tua terhadap anaknya karena belum menikah
5.
Tidak diperbolehkannya PNS untuk beristri lebih dari satu dan tidak
mendaptkan izin dari pengadilan untuk berpoligami
·
Hukum nikah sirri menurut agama adalah sah sepanjang aturan terpenuhi
syarat dan rukunnya dan tidak bertentangan dengan aturan yang lain.
·
Menurut BW adalah bahwa karena menganut asas monogami, maka tidak
diperkenankan beristri lebih dari satu.
·
Menurut KHI adalah bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
·
Menurut UU No. 1/1974 : Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaa dan
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Akibat
hukum dari nikah sirri adalah bahwa status anak dan istri tidak jelas, anak dan
isteri tidak berhak atas nafkah dan warisan, serta anak hanya mempunyai
hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya.
DAFTAR
PUSTAKA
Basri, C. H. Kompilasi
Hukum Islam dan peradilan Agama dalam Tata Hukum Nasional. Logos.
Hasan, M. A. (1996). Masail
fiqhiyah al-haditsah-masalah-masalah kontemporer hukum Islam. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Ichsan, A. Hukum
perkawinan Bagi yang Beragama Islam-suatu tinjauan dan ulasan secara sosiologi
hukum. Pradnya Paramita .
Nafis, C. (2009). Fikih
Keluarga (menuju keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah)- keluarga sehat,
sejahtera dan berkualitas. Jakarta: Mitra Abadi Press.
Rasjid, H. S. (2012). Fiqh
Islam. Jakarta: Sinar baru Algensindo.
Subekti, R., & R.
t. (2013). Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Pradnya
Paramita.
[1] Keputusan Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa MUI II Tahun 2006,
Masail Asasiyah Wathaniyah, Masail Waqi’iyyah Mu’ashirah, Masail Qanuniyyah,
(Majelis Ulama Indonesia, 2006), h. 39
[2] A. Wasit Aulawi, “Nikah Harus Melibatkan Masyarakat”,
Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum, Nomor 28 Thn. VII, (September-Oktober1996), h.
20
[4]
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam
di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet. Ke-1, Ed.
Pertama, h. 47-48
No comments:
Post a Comment
silahkan poskan komentar anda..komentar diharap tidak rasisme, santun dan tidak mengandung sara..terima kasih ^_^