DAFTAR
ISI
Majelis
Penulis
Majelis Ukhuwah Penulis Bersyariah
Majelis Penulis
Peradilan Islam : Dari
Jahiliyah Ke Islamiyah
Posted by Majelis Penulis
at 13.07 on Senin, 28 Mei 2012
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dalam kajian teori-teori
terbangunnya suatu peradaban, terdapat sebuah pendapat populer yang menyatakan
bahwa cara pandang dunia (worldview) yang dilahirkan dari semangat (elan vital)
yang dibawa oleh ide-ide atau gagasan ajaran keagamaan (al-fikrah al-dīniyyah)
merupakan unsur paling penting terbangunnya sebuah peradaban. Dalam konteks
ini, kemunculan Islam di Semenanjung Arabia sekitar abad ke-7 Masehi telah
menjadi faktor utama penggerak munculnya sebuah peradaban baru yang terlahir
dari sebuah wilayah yang secara geografis dikelilingi oleh tanah gersang dan
secara sosiologis telah berabad-abad tenggelam dalam kegelapan kebodohan.
Oleh sejarah, bahkan masyarakat yang mendiami
wilayah Semenanjung Arabia tersebut cenderung terabaikan karena selain
disebabkan oleh kebiasaan mereka yang nomaden (berpindah-pindah) juga
disebabkan pula oleh ketidakadaan kesatuan institusi politik yang mempersatukan
suku-suku yang justru seringkali saling bermusuhan, disamping juga kenyataan
bahwa mayoritas masyarakat bangsa mereka adalah buta huruf (ummy).
Islam sejak awal
sejarah kemunculannya, dengan Sang Nabi Muhamad SAW sebagai tokoh sentral,
sebagai agama kemudian secara cepat melahirkan sebuah komunitas masyarakat
madani (civil society) bernegara-berperadaban di Madinah dimana dalam mata
rantai sejarah peradaban Islam merupakan fase terpenting dibangunnya
prinsip-prinsip utama dan dasar-dasar yang kokoh bagi terbangunnya sebauh peradaban
baru tersebut dengan memberikan landasan-landasan ideologis-normatif maupun
berbagai tata cara praktis sebagai sumber mata air keteladanan generasi-generasi berikutnya.
Termasuk hal tersebut di atas,
masyarakat-negara yang dibangun oleh Nabi SAW telah memberikan bebeberapa latar
belakang dan model awal instrumen-instrumen dan institusi-institusi yang
menjadi menjadi pilar penting keberadaan sebuah masyarakat-negara. Maka jika
dalam perspektif ilmu ketatanegaraan modern mengenal tiga lembaga kekuasaan
Negara atau yang disebut sebagai trias politica yakni kekuasaan lembaga
legislatif, eksekutif dan judikatif maka ternyata Rasulullah SAW telah
mempraktekkan tiga bentuk institusi tersebut.
Dalam konteks
pengantar/pendahuluan di atas, tulisan ini akan berupaya mengeksplorasi sejarah
salah satu institusi trias politica tersebut yaitu institusi judikatif
(peradilan) di zaman Nabi. Kajian terhadap tema ini akan menemukan arti
pentingnya karena dengan mengerti dan memahami sejarah awal dan konsepsi
peradilan di zaman Nabi akan memudahkan siapa saja untuk lebih mengenal
semangat keadilan yang dibawa oleh ajaran Islam itu sendiri dan pernah
dipraktekkan melalui peradaban Islam selama berabad-abad, sehingga tidak keliru
jika Edmund Burke (1729-1797), seorang penulis-negarawan Inggris, mengakui
bahwa “sesunguhnya undang-undang/hukum Islam diterapkan kepada semua umat
Muslimin tanpa ada perbedaan antara raja yang sedang bertahta dengan seorang
pembantu yang lemah. Undang-undang hukum Islam telah tersusun dengan sangat
rapi dan kokoh, sehingga secara nyata telah menjadi hukum/undang-undang yang
amat sangat mendasar dan paling cemerlang yang pernah dikenal oleh sejarah
manusia”.
B. Batasan Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. peradilan Pra Islam (Masa Jahiliyah).
2. peradilan Islam pada periode Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
3. Peradilan Islam pada periode Khalifah Abu
Bakar RA.
4. Peradilan Islam pada periode Khalifah
Umar RA.
5. Peradilan Islam pada periode Khalifah
Utsman RA.
6. Peradilan Islam pada periode Khalifah Ali
bin Abi Thalib.
7. Peradilan
Islam pada Periode Daulah Bani Umayyah.
8. Peradilan Islam pada periode Abasyiah.
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Peradilan di Zaman Jahiliyah
Sebelum mengeksplorasi sejarah
dan konsepsi sistem peradilan dalam Islam di masa Nabi, tulisan ini akan
terlebih dulu menjelaskan secara sekilas mengenai sejarah peradilan pada masa
Arab Jahiliyah pra-Islam dengan tujuan agar arti penting sistem peradilan dalam
Islam di masa Nabi SAW tersebut akan lebih dimengerti secara lebih tepat dan
lebih baik.
Masyarakat Arab pada zaman Jahiliyah Pra-Islam
dapat dikatakan belum memiliki bentuk maupun sistem peradilan yang mapan.
Karena pada saat itu di Jazirah Arab sama sekali tidak terdapat satu kesatuan
sosiologis (bangsa) maupun kesatuan politik (Negara) secara nyata. Mereka juga
tidak diketahui memiliki undang-undang atau hukum tertentu semacamnya yang
dapat dijadikan referensi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan
persengketaan yang seringkali terjadi diantara mereka. Tradisi dan kebiaaan
yang berlaku di masing-masing kabilah (suku)-lah yang lantas menjadi pedoman
utama penyelesaian berbagai persoalan tersebut. Hukum balas dendam (al-akhdzu
bi al-tsa’ri) yang biasa dilakukan oleh suku-suku Arab pra-Islam dan menjadi
jalan keluar dari kasus-kasus pidana, terutama terkait dengan pidana kematian
jiwa, pada kenyataannya justru seringkali menyebabkan semakin runcingnya sebuah
persoalan dan berkepanjangannya suatu kasus. Hal ini diperkuat dengan adanya
realitas bahwa pada masa itu masing-masing suku memiliki kecenderungan
fanatisme dan solidaritas internal yang sangat kuat terhadap anggota-anggota
suku, terutama jika datang dari kalangan bangsawan mereka.
Dalam kondisi demikian, mereka
juga terbiasa menyelesaikan kasus ataupun masalah mereka dengan mendatangi para
“dukun” (kāhin) dan tukang ramal (`arrāf) yang diyakini oleh masyarakat Arab
waktu itu memiliki kelebihan pengetahuan perihal rahasia-rahasia gaib baik
melalui ketajaman firasat, atau melalui hubungan dan kongsi dengan para jin
maupun melalui ilmu perbintangan (astrologi). Diantara para dukun yang dikenal
saat itu adalah Rabī` ibn Rabī`ah ibn al-Dzi’ib atau yang lebih dikenal sebagai
Saţīh al-Kāhin[1].
Masyarakat Arab pra-Islam mengenal juga cara
penyelesaian masalah melalui arbitrasi (tahkim) kepada orang-orang tertentu
atau arbitrator yang dikenal “bijak” dalam menyelesaikan persengketaan mereka.
Diantara tokoh sejarah Arab pra-Islam yang dikenal sebagai arbitrator antara
lain: `Abd Al-Muţallib, Zuhayr ibn Abu Sulma, Aktsam ibn Şayfi, Hājib ibn
Zirārah, Qus ibn Sā`idah al-Iyādi, `Āmir ibn al-Dharib al-`Udwāni[2], serta
Ummayah ibn Abu Şalt dan lain-lain. Dari kalangan perempuan terdapat juga nama
`Amrah binti Zurayb. Bahkan Nabi Muhamad SAW sendiri sebelum masa kerasulannya
pada zaman Jahiliyah pernah diminta untuk menjadi arbitrator oleh kaum Quraysh
ketika berselisih dalam menentukan siapa yang lebih berhak untuk meletakkan
hajar aswad pada saat penyelesaian ahir pembangunan Ka’bah.
Akan tetapi eksistensi dan
otoritas para arbitrator masyarakat Arab pra-Islam ini bersifat sporadis
bersama dengan “orang-orang bijak” atau arbritator-arbitrator lainnya.
Keputusannya pun tidak sepenuhnya mengikat karena mereka sendiri tidak punya
instrumen untuk mengeksekusi keputusan-keputusan mereka. Orang-orang yang
bersengketa tidak diharuskan untuk datang kepada para arbitartor ketika menemui
perselisihan dan tidak pula harus tunduk atau menerima keputusan mereka.
Sebagaimana pula keputusan yang diambil para arbitrator ini hanya berdasarkan
pandangan-pandangan subjektif mereka, atau tradisi mereka bukan didasari oleh
aturan atau undang-undang hukum tertentu.
Karena alasan-alasan tersebut di
atas, arbitrasi yang dilakukan pada masa itu tidak bisa disebut sebagai proses
hukum yang tertata dan secara faktual tidak mampu mengatasi persengketaan yang
terjadi sehingga kaum Quraysh kemudian memiliki ide untuk membentuk sebuah
mekanisme penyelesaian masalah yang disebut dengan hilf al-fudlūl. Kesepakatan
hilf al-fudlūl ini dibuat dengan tujuan untuk mencegah perlakuan tidak adil dan
tindak aniaya kepada siapapun baik orang merdeka maupun hamba sahaya, warga
setempat maupun orang-orang asing, serta melindungai hak-hak yang terampas.
Saat usia beliau 35 tahun dan sebelum kerasulannya, Nabi Muhamad SAW ikut hadir
di rumah `Abdullah ibn Jad’ān ketika kesepakatan hilf al-fudlūl tersebut
dibentuk. Beberapa waktu kemudian setelah kenabiannya, Rasulullah SAW
menyatakan bahwa seandainya beliau diundang untuk urusan yang sama (menghadiri
hilf al-fudlūl) di masa Islam, beliau tentu akan mendatanginya juga.
Sebelum dibentuknya kesepakatan hilf al-fudlul
ini sebenarnya telah ada upaya-upaya lain yang telah dilakukan oleh masyarakat
Arab Jahiliyah –di Mekah khususnya- untuk menciptakan sebuah mekanisme
penyelesaian persengketaan dan perlindungan terhadap hak-hak warga yang teraniaya
dengan lebih terukur dan teratur. Dalam upaya ini suku Quraysh pernah memilih
beberapa tokoh-tokoh mereka sebagai hakim (arbitrator), misalnya dengan
menunjuk tokoh-tokoh Bani Sahm untuk menyelesaikan permasalahan internal suku
Quraysh, atau menugaskan tokoh-tokoh dari Bani `Adiy dalam perselisihan yang
melibatkan Quraysh dengan suku-suku di luar mereka.
B. Sejarah Peradilan Zaman Nabi SAW
1. Nabi SAW sebagai Satu-satunya Pemegang Otoritas Jurisdiksi
Sejarah kenabian dimulai ketika
Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali di Gua Hira, kira-kira saat
beliau berusia 40 tahun. Setelah kurang lebih 13 tahun menyampaikan risalahnya
di Mekah dengan fokus da’wah mengajak manusia untuk bertauhid kepada Allah
secara murni dan meninggalkan berhala-berhala. Kemudian sesampainya di Madinah,
Rasulullah SAW mulai membangun sebuah masyarakat dan negara dengan menegakkan
hukum-hukum dan syariat Allah yang
nantinya akan menjadi pedoman bagi manusia sepanjang sejarah. Prinsip kehidupan
yang dibangun Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan pada prinsip Tauhid yang
meletakkan manusia berkedudukan setara di hadapan Allah dan hukum-hukumNya.
Maka dari itu keadilan dipandang sebagai satu elemen yang sangat mendasar dan
senantiasa ditegaskan oleh Allah dalam beberapa ayat-ayat Al-Quran seperti dalam QS. Al-Nisā: 57, QS. Al-Māidah
: 8 , QS. Al-An`ām:153 dan lain-lain.
Keberadaan Nabi SAW sendiri di
masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep ketatanegaraan
modern menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu kekuasaan legislatif
(sulţah tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah tanfīdziah) dan kekuasaan
judikatif (sulţah qadlāiyah) sekaligus. Sebagai seorang penerima sekaligus
penyampai wahyu dari Allah, Nabi Muhamad SAW merupakan satu-satunya sumber
segala hukum dan tata aturan. Bahkan segala perbuatan dan ucapannya juga
diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus ditaati. Sedangkan unsur
kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari pelaksanaan beliau dan
pengejawantahan hukum-hukum Allah/syariat Islam serta menegakkannya dalam
berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
Adapun kekuasaan judikatif
Rasulullah SAW diperlukan dalam kerangka penegakan keadilan dan pemeliharaan
hak-hak masyarakat waktu itu yang terkadang mengalami perselisihan atau
persengketaan antar pemiliknya. Proses yang dilakukan pun menjadi penting
sebagai cara penguatan sistem sebuah masyarakat-negara yang baru lahir dan
sedang dibangun dimana nantinya akan diteladani oleh umat Islam secara
keseluruhan di masa-masa berikutnya. Sebagai catatan, dengan mengutip pendapat
Syaikh `Abdul Wahhāb Khallāf, bahwa penyatuan tiga kekuasaan judikatif,
legislatif dan eksekutif sekaligus di kedua tangan seorang Nabi SAW ini
tidaklah menimbulkan kekhawatiran tejadinya penyalahgunaan kekuasaan atau
tuntutan pemisahan jabatan dengan alasan-alasan kekhawatiran lainnya karena
jaminan ke-ma`şum-an Rasulullah (terjaga dari dosa) dan sekaligus sebagai
teladan bagi umat.
Sementara
itu, Piagam Madinah (al-Mītsāq al-Madani) sebagai undang-undang tertulis yang
disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah di Madinah memiliki
muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial-politik masyarakat baru di Madinah
dimana di dalam salah satu pasalnya menegaskan kewajiban unsur-unsur anggota
masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan orang-orang muslim, untuk saling
bertanggungjawab secara bersama-sama terhadap keamanan umum dalam negeri
Madinah. Dalam teks piagam tersebut disebutkan bahwa masing-masing orang mu’min
bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi disekitarnya meskipun hal itu
dilakukan oleh anaknya sendri[3]. Adapun jika terjadi terjadi perselisihan dan
persengketaan maka otoritas legislasi dan jurisdiksi berada di tangan Allah dan
Rasul-Nya, sebagaimana juga dikatakan oleh teks piagam tersebut.[4] Otoritas
jurisdiksi yang hanya dimiliki Rasulullah ini dengan sangat tegas juga
ditekankan oleh Al-Quran sebagaimana dalam QS. Al-Nisā’: 65:
xsù y7În/uur w cqãYÏB÷sã 4Ó®Lym x8qßJÅj3ysã $yJÏù tyfx© óOßgoY÷t/ §NèO w (#rßÅgs þÎû öNÎhÅ¡àÿRr& %[`tym $£JÏiB |MøÒs% (#qßJÏk=|¡çur $VJÎ=ó¡n@ ÇÏÎÈ
“Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.”
2. Penunjukan Sahabat sebagai Qādli
Sebagaimana disingggung di muka, bahwa Nabi
SAW merupakan satu-satunya pemegang otoritas jurisdiksi saat itu. Namun
beberapa riwayat yang ada menunjukkan bahwa Nabi SAW pernah menunjuk beberapa
orang sahabatnya untuk menyelesaikan kasus-kasus persengkataan tertentu.
Sebagai contoh Nabi pernah mendelegasikan Hudzaifah ibn al-Yamān al-`Absy untuk
menyelesaikan perselisihan dua orang bersaudara yang memperebutkan hidhār atau
jidār rumah mereka. Nabi juga diriwayatkan pernah meminta `Amru ibn al-`Āş
untuk memberi keputusan pada sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang
datang kepada Nabi mengadukan persengketaan mereka. Nabi bersabda kepada `Amru:
“Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya wahai `Amru.” Maka `Amru
merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan perkara keduanya sementara
engakau berada bersama kami wahai Rasulullah?”
Selain kepada dua sahabatnya
seperti di atas, Nabi juga pernah meminta hal sama kepada sahabat `Uqbah ibn
`Amir al-Juhani untuk memmutus satu perkara. Nabi diberitakan juga pernah
mengirimkan Ma`qil ibn Yasār - dan dalam kesempatan berbeda - `Ali ibn Abu
Ţālib sebagai qadli ke Yaman.
Sebagaian sahabat lain pernah ditunjuk Nabi
SAW untuk menjadi wali (wakil pemerintahan) beliau di suatu wilayah tertentu
sekaligus sebagai pelaksana qadlā seperti sahabat `Utāb ibn Asīd yang
ditugaskan Nabi menjadi wali Mekah setelah penaklukan (Fathu Makkah), atau
Mu`adz ibn Jabal yang diutus ke Al-Janad (sebuah wilayah di Yaman) untuk
mengajarkan Al-Qur’an dan syariat Islam, mengumpulkan zakat, sekaligus
menjalankan peradilan, Abū Mūsa al-‘Ash`ari diutus ke bagian lainnya di Yaman
(daerah Zabīd, `Adn), serta Al-`Alā’ al-Hadlrāmi ke Bahrain. Dalam kasus lain,
saat Nabi SAW keluar dari Madinah untuk sebuah keperluan, Nabi mewakilkan
pemerintahan Madinah –termasuk diantara bagiannya adalah institusi
jurisdiksinya- kepada para sahabatnya seperti Sa’ad ibn `Ubādah ketika beliau
keluar ke medan Perang al-Abwā’ atau Sa`īd ibn Madh`ūn ketika terjadi Perang
Buwāţ.
Dari uraian di atas, yang perlu
dicatat adalah bahwa Nabi SAW tidak pernah mengangkat seorangpun yang secara
khusus mengemban tugas “profesi” sebagai qādli maupun memberikan mandat
jurisdiksi (qadlā’) secara penuh kepada sahabat-sahabat beliau untuk melakukan
tugas tersebut secara multak tanpa batasan tempat dan waktu. Akan tetapi
pemberian otoritas jurisdiksi oleh Nabi kepada sahabatnya tersebut paling
tinggi terjadi saat beliau menujuk wakilnya untuk melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan di daerah tertentu sebagai bagian dari wilayah `āmmah. Hal itu
sebagai tuntutan dari konsekuensi dari semakin meluasnya daerah-daerah
kekuasaan Islam.
3. Sumber Hukum Peradilan
Sebagai seorang Qādli (pemegang
otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah menjalankan perannya dengan baik dalam
memutuskan berbagai persoalan yang terjadi pada zaman itu. Diantara putusan
Nabi ada diantaranya yang merupakan implementasi langsung dari aturan-aturan
wahyu yang terdapat dalam al-Quran, seperti saat Nabi SAW memerintahkan
pemotongan tangan seorang perempuan Bani Makhzūm yang mencuri, sebagai
pelaksanaan kandungan ayat QS. Al-Mā’idah: 38.[5]
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îÍtã ÒOÅ3ym ÇÌÑÈ
“laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan
suatu perkara dengan ijtihad belaiu dalam beberapa hal ketika tidak terdapat
naş-nya secara eksplisit dalam al-Quran seperti ketika beliau memberikan
kebebasan kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau
bapaknya ketika keduanya bercerai. Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah
satu sumber hukum peradilan di zaman ini secara lebih tegas diungkapkan
oleh Nabi sendiri ketika memberikan
putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi
SAW bersabda:
إِنِّى إِنَّمَا أَقْضِى بَيْنَكُمْ بِرَأْيِى
فِيمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَىَّ فِيهِ
“Sesungguhnnya aku memutuskan
berdasarkan pandanganku, dalam perkara yang belum ada wahyu yang diturunkan
kepadaku”.
Putusan Nabi berdasarkan ijtihad ini bagi
umatnya dengan sendirinya tentu saja menjadi bagain dari sumber hukum itu
sendiri karena posisi Nabi sebagai penyampai tashrī`` dari Allah atau sebagai
musharri’. Persoalan ini bisa lebih dilihat secara lebih jelas melalui sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Mu’ādz ibn Jabal. Salah seorang sahabat yang
pernah ditugaskan oleh Nabi sebagai qādli ini meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW
ketika akan mengirimnya ke Yaman bertanya: “Bagaimana caranya engkau memutuskan
perkara yang dibawa orang kepadamu?”. “Saya akan memutuskannya menurut yang
tersebut dalam Kitabullah.” Jawab Mu’ādz. Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau
engkau tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?”. Mu’ādz menjawab:
“Saya akan memutuskannya menurut Sunah Rasul-Nya”. Lalu Rasulullah SAW bertanya
lagi: “Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam Sunnah Rasulullah dan tidak
pula dalam Kitabullah, bagaimana?” Lalu
Mu’adz menjawab: “Jika tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad
sepenuh kemampuan saya.” Mendengar
jawaban itu, Rasulullah SAW lalu menepukkan kedua tangannya ke dada Mu’ādz dan
berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah,
kepada apa yang diridlainya.”[6]
4. Proses Peradilan
Pada zaman Nabi SAW proses
peradilan berlangsung dengan sangat sederhana. Jika ada seseorang yang menemui
satu permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Nabi untuk meminta
putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu
pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan (qadlā’) yang dilakukan oleh Nabi
lebih bersifat sebagai “fatwa” dengan model tanya-jawab, dibandingkan dengan
proses sebuah “pengadilan” dalam bahasa yang sering dipahami di masa sekarang.
Namun meskipun proses peradilan ini berlangsung
sangat sederhana, Rasulullah menyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan
antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran sebuah keputusan tidak boleh
diambil kecuali setelah sang pengambil keuputusan (qādli) mendengarkan
pelaporan dari kedua belah pihak.
عن علي قال : قال لي رسول الله صلى الله
عليه و سلم إذا تقاضى إليك رجلان فلا تقض للأول حتى تسمع كلام الآخر فسوف تدري كيف
تقضي قال علي فما زلت قاضيا بعد
Dari Ali r.a
berkata: Rasulullah SAW berkata kepadaku: “Jika datang kepadamu dua orang untuk
meminta putusan dari mu, maka janganlah engkau beri putusan kepada orang
pertama sebelum engkau mendengarkan juga (laporan) dari orang kedua, sehingga
engkau tahu bagaimana seharusnya kamu memutuskan.”[7]
Dalam konteks ini Nabi SAW juga mengharuskan
adanya bukti yang dibawa oleh pelapor dan sumpah bagi yang dilaporkan. Dalam
sebuah riwayat dari Ibn `Abbās Nabi SAW bersabda:
لو يعطى الناس بدعواهم لادعى رجال اموال
قوم ودماء هم ولكن البينة على المدعى واليمين على من انكر
“Seandainya setiap orang
diberikan apa-apa yang mereka klaim, maka orang-orang akan mengklaim
harta-harta atau jiwa-jiwa suatu kaum. Tetapi (semestinya adalah) bahwa bukti
harus didatngkan oleh orang yang mengklaim (pelapor) dan sumpah harus diberikan
oleh yang dilaporkan”.[8]
Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi
berlangsungnya proses mulai dari putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu
melainkan dijalankan secara langsung. Kesimpulan ini bisa dipahami dari
beberapa hadits seperti saat Nabi memutuskan persengketaan Ka`ab ibn Malik
dengan Ibn Abi Hadrad mengenai piutangnya. Nabi memutuskan agar Ka`ab mengambil
separuh dari piutangnya dan merelakan separuhnya. Saat itu juga Nabi
memerintahkan Ka`ab untuk segera melaksanakan putusan tersebut dengan mengatakan
“Qum fa iqdlihi” (Lekaslah berdiri wahai Ka`ab dan tunaikanlah!).[9]
5. Perangkat-perangkat Lain dalam Sistem Peradilan pada Masa Nabi
Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan
merupakan sebuah sistem yang selain mencakup proses peradilan atau arbitrasi
itu sendiri juga mencakup hal-hal atau lembaga lainnya yang saling mendukung
satu sama lain. Dalam diskursus jurisprudensi Islam yang berkembang kemudian,
selain istilah qadlā’ (yang berarti peradilan secara umum) dikenal pula istilah
Hisbah dan al-Madzalim.
Hisbah
didefinisikan sebagai “memerintahkan hal-hal yang baik (ma`rūf) ketika telah
mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika dikerjakan”.
Dalam perkembangan system peradilan Islam yang terjadi kemudian hisbah menjadi
sebuah lembaga (dan petugasnya disebut dengan muhtasib) yang bertugas
menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa
untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin
dikerjakan.
Dan ternyata, konsep lembaga ini jika dirunut
memiliki akar historis pada zaman Rasulullah. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa
Rasulullah senantiasa memeriksa keadaan dan kondisi berbagai sisi hidup
umatnya. Suatu ketika, saat berjalan-jalan (melakukan inspeksi) di pasar Nabi
menjumpai kecurangan yang dilakukan oleh seorang pedagang makanan dan kemudian
menegurnya.[10]
Sama halnya dengan hisbah, peradilan madzālim
juga telah memiliki dasar sejarah di zaman Nabi. Madzālim merupakan institusi
pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari seseorang yang berpengaruh,
sehingga sulit bagi pengadilan biasa untuk menyelesaikannya. Nabi pernah
mencontohkan pembelaan madzālim ini untuk umatnya atas dirinya sendiri dengan
mengatakan “barangsiapa yang hartanya telah terambil olehku maka inilah hartaku
aku silakan dirinya mengambilnya.”[11]
Adapun lembaga system peradilan yang lain
seperti kepolisian dan penjara, dari catatan sejarah yang ada dapat disimpulkan
tampaknya kedua institusi tersebut belum pernah ada di zaman Nabi. Sedangkan
konsep “lembaga pengawasan” terhadap peradilan juga bisa ditemukan dalam
sejarah peradilan di zaman Nabi. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh wahyu
Allah terhadap Nabi Saw. Rasulullah juga melakukan pengawasan serta evaluasi
terhadap para sahabat yang ditunjuknya untuk menjalanakan peradilan sebagaimana
diindikasikan dalam riwayat Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Ali yang usai
menyelesaikan putusannya melaporkannya kepada Nabi, dimana Nabi kemudian
membenarkannya. Jika putusan kedua sahabat itu salah, tentu Nabi-pun akan segera
mengoreksinya.
C. Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Abu Bakar RA
Saidina Abu Bakar al-Shiddîq RA, adalah
pengganti Rasulullah SAW dalam hal duniawi (pemerintahan) dan dalam hal ukhrawi
(spiritual) yang hanya terbatas pada pemimpin agama, seperti imam solat, mufti,
dan lain-lain yang bukan sebagai rasul yang mendapatkan wahyu.
Pada zaman Rasulullah
SAW, hakim dijabat oleh Rasulullah SAW sendiri. Bagi daerah yang jauh, beliau
serahkan kursi hakim kepada para sahabat. Misalnya, Ali bin Abi Thalib pernah ditugaskan
menjadi hakim di Yaman. Begitu juga dengan sahabat Mu’âdz bin Jabal untuk
menjadi gubenur dan hakim di Yaman.
Sumber hukum yang dipakai Rasulullah SAW
adalah Alquran dan wahyu kerasulan. Selanjutnya, Rasulullah SAW mengizinkan
para sahabat memutuskan perkara sesuai dengan ketetapan Allah, Sunnah Rasul,
ijtihad atau qiyas. Ini dibuktikan dengan hadis Mu’âdz bin Jabal tatkala beliau
diangkat menjadi gubenur dan hakim di Yaman:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ
تَصْنَعُ إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي لَا آلُو قَالَ
فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرِي ثُمَّ قَالَ
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
(Sesungguhnya Rasulullah SAW pada saat mengutusnya (Mu’âdz
bin Jabal) ke Yaman, Rasul berkata padanya: “Bagaimana kamu melakukan ketika
kamu hendak memutus perkara?” Mu’âdz pun menjawab: “Aku memutus dengan apa yang
terdapat di dalam kitab Allah”. Lalu Rasul bertanya: “Kalau tidak terdapat di
dalam kitab Allah?” Mu’âdz menjawab: “Maka dengan memakai sunnah Rasulullah
SAW”. Lalu Rasul bertanya: “Seumpama tidak ada di sunnah Rasulullah?” Mu’âdz
menjawab: “Aku berijtihad sesuai dengan pemikiranku bukan dengan nafsuku”. Lalu
Rasulullah SAW menepuk dada Mu’âdz, dan Rasul bersabda “Segala puji bagi Allah
yang telah mencocokkan kerasulan Rasullullah pada apa yang diridai Allah
terhadap Rasulullah”.)
Pada saat Abu Bakar RA menggantikan Rasulullah
SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan yang berlaku pada zaman Rasulullah
SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk menegakkan hukum Islam dengan memerangi
kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan membayar zakat, dan lain-lain
perkara yang berhubungan dengan politik dan hukum.
Malahan, pada periode ini
peradilan dikuasai oleh khalifah sendiri, dan kadang-kadang khalifah memberi
kuasa kepada orang lain untuk menjadi hakim seperti yang dilakukan Rasulullah SAW.
Perkara ini berlaku sampai pada awal kekhalifahan Umar bin al-Khattab. Jadi,
pada periode ini, belum ada pemisahan antara tiga jenis kekuasaan; yaitu
eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sebaliknya khalifah memegang kekuasaan
yudikatif.
Doktor ‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil
dari Syaikh Muhammad Bakhît al-Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat
al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm:
"... وفي خلافة أبي بكر تولى عمر بن الخطاب القضاء فكان أول قاض في
الإسلام للخليفة"
(... dan pada kekhalifahan Abu Bakar, beliau (Abu Bakar)
menganggkat Umar bin al-Khatthâb sebagai hakim, maka adanya Umar adalah
awal-awalnya hakim di dalam Islam bagi khalifah)
Menurut Doktor ‘Athiyyah, pendapat al-Muthî’î
ini tidak dapat dibenarkan. Ini dikarenakan Umar adalah khalifah yang paling
awal menentukan para hakim yang dikhususkan untuk menjadi hakim bagi pertikaian
yang terjadi di antara manusia. Sedangkan Abu Bakar RA hanya mewakilkannya
kepada Umar bin al-Khattab kadang-kadang untuk melihat kasus-kasus agar dicarikan
inti pertikaiannya. Hanya saja, kekuasaan yudisial ini tidak dimiliki Umar
secara khusus, Umar juga tidak disebut hakim pada zaman Khalifah Abu Bakar RA.
Umar juga tidak hanya bertugas sebagai hakim kadang-kadang, malahan Umar
mendapatkan tugas menjadi imam dan lainnya.
Pada saat Umar menjabat sebagai hakim selama
lebih kurang dua tahun, tidak ada seorangpun yang datang berperkara. Ini
dikarenakan sahabat yang berperkara mengerti bahwa Umar adalah orang yang
sangat tegas, dan pada saat itu orang-orang masih bersifat wara’, baik, serta bertoleransi sehingga berusaha untuk menolak
terjadinya pertikaian dan pendendaman.
Abu Bakar RA membagi Jazirah Arab
menjadi beberapa wilayah. Beliau melantik pada setiap wilayah tersebut seorang
pemimpin (amîr) yang ada sebelumnya. Amîr ini memimpin solat, menjadi hakim
bagi perkara yang diangkat padanya, begitu juga melaksanakan hudûd. Dikarenakan
ini, Abu Bakar RA memberi setiap amîr tersebut ketiga-ketiga kekuasaan
pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif).
Cara Abu Bakar menghukumi sesuatu
permasalahan adalah seperti apa yang dilakukan Rasulullah SAW sebelumnya.
Setiap masalah selalu dirujuk pada Alquran dulu. Apabila tidak ada barulah
beliau merujuk pada sunnah Nabi Muhammad SAW, atau keputusan yang pernah
diambil Rasulullah SAW. Jika sunnah tidak ada, beliau bertanya kepada sahabat
lain apakah ada yang tahu sunnah yang berkaitan dengan masalah ini. Seumpama
ditemukan, maka beliau mengambilnya setelah mencari kebenaran tersebut.
Seumpama tidak ditemukan hukum untuk masalah ini di dalam Alquran dan sunnah,
beliau berijtihad secara bersama-sama dengan sahabat lain (`ijtihâd jamâ’î)
kalau memang masalah tersebut berhubungan langsung dengan hukum masyarakat.
Beliau akan berijtihad secara sendiri (`ijtihâd fardî) bagi masalah-masalah
yang berhubungan dengan perseorangan.
Walaupun Rasulullah SAW
menetapkan kebolehan melakukan ijtihad dengan pemikiran rasional seseorang dan
qiyas, Khalifah Abu Bakar RA enggan memakainya kecuali sedikit saja. Ini
dikarenakan beliau takut terjadi kesalahan di dalam hukum, sehingga beliau
tidak menggalakkan seseorang untuk memberi fatwa kepada orang lain yang berasal
dari ketidak-tahuan. Beliau malah pernah berkata ketika berfatwa dengan memakai
pemikirannya dan qiyas:
“Ini adalah pendapatku, apabila ia adalah benar, maka ia
adalah dari Allah, apabila ia adalah salah, maka ia datang dariku. Aku memohon
ampun kepada Allah”.
D. Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab
Setelah wafatnya Abu Bakar RA,
kekhalifahan dipegang Saidina Umar bin al-Khattab RA. Pada saat ini, daerah
Islam semakin luas. Tugas-tugas pemerintahan dalam bidang politik, sosial, dan
ekonomi semakin rumit. Khalifah Umar RA juga mulai sibuk dengan peperangan yang
berlaku antara negara Islam dengan Parsi dan Romawi. Dengan semua kesibukan
ini, Umar tidak sempat untuk menyelesaikan semua masalah peradilan. Maka dari
itu, beliau memutuskan untuk mengangkat hakim yang berada di luar kekuasaan
eksekutif. Ini adalah pertama kali pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan
yudikatif terjadi.
Umar mengangkat Abu Dardâ’ untuk menjadi hakim
di Madinah. Syuraih di Bashrah, sedangkan Abu Musa al-Asy’ari di Kufah, Utsman
Ibn Qais Ibn Abi al-‘Âsh di Mesir, sedangkan untuk Syam pula diberi hakim
tersendiri. Akan tetapi menurut kitab Târîkh al-`Islâm al-Siyâsî, Abu Musa
menjadi hakim di masa Umar hanya untuk Bashrah saja, sedang Pengadilan di Kufah
diserahkan kepada Syuraih. Di masa Utsman barulah Abu Musa menjadi hakim di
Kufah.
Dalam pemisahan yang dilakukan
Umar RA adalah pemisahan yang sesungguhnya, sehingga kekuasaan eksekutif
benar-benar dapat diadili oleh kekuasaan yudikatif. Ini dibuktikan dengan
sebuah riwayat bahwa; suatu ketika Umar RA mengambil seekor kuda untuk ditawar.
Maka beliau menunggangnya untuk mencobanya. Lalu kuda tersebut rusak. Lelaki
itupun bertikaian dengan Umar. Umar RA berkata: “Ambillah kudamu!”. Lelaki yang
memiliki kuda pun menjawab: “Aku tidak mau menggambilnya, kuda itu sudah
rusak!”. Umar pula berkata: “Kamu harus mencari orang tengah pada apa yang
berlaku antara aku dan kamu”. Lelaki itu berkata: “Aku rida dengan Syuraih dari
Irak”. Pada saat dibawa pada Syuraih, Syuraih berkata: “Kamu mengambilnya dalam
keadaaan sehat dan selamat, maka kamulah yang menggantinya sampai kamu
memulangnya dalam keadaan sehat dan selamat”. Lalu Umar berkata: “Aku sungguh
kagum dengannya, maka aku pun mengutusnya menjadi hakim”. Lalu Umar berkata
pada Syuraih: “Apabila telah jelas bagimu sesuatu melalui Alquran, maka jangan
kamu pertanyakan lagi. Seumpama tidak jelas apa yang ada di Alquran, maka
carilah sunnah. Seumpama kamu tidak menemuiya di sunnah, berijtihadlah memakai
rasio kamu!”.
Menurut Doktor ‘Athiyyah, peradilan pada masa
Khalifah Umar RA adalah sesuatu yang mudah, luas, serta bebas dari administrasi
yang banyak seperti yang dapat disaksikan sekarang ini. Hakim pada masa itu
tidak memerlukan panitera, juga sekretaris. Pada masa itu juga tidak diperlukan
untuk mengkodifikasi hukum-hukum peradilan, karena semua hukum keluar di balik
hati seorang hakim. Hukum acara juga tidak diperlukan. Ini karena peradilan
masih berada pada awal-awalnya dilahirkan. Belum ada pemikiran untuk ke situ.
Selain dari itu, hakim juga adalah sebagai pelaksana hukum, dalam arti mereka
juga adalah sebagai juru sita, bukan hanya pemutus hukum.
Sumber hukum yang dipakai Umar RA adalah sama
seperti Abu Bakar RA. Beliau memakai Alquran, lalu sunnah Nabi. Sempama tidak
ada, beliau melihat apakah Abu Bakar RA pernah memutuskan hal serupa. Seumpama
tidak ada barulah memanggil para tokoh untuk dimusyawarahkan. Kalau ada
kesepakatan, barulah diputuskan.
Khalifah Umar RA juga pernah
memiliki dustûr al-qudlât, yaitu sebuah pedoman bagi hakim agung dalam
menjalankan peradilan serta dasar-dasar pokok. Dustûr ini dikenal dengan nama
risâlat al-qadlâ’. Isi dari dustûr ini adalah seperti yang dicatat oleh Imam
al-Mâwardî di dalam kitabnya yang berjudul al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa
al-Wilâyât al-Dîniyyah:
وَقَدْ اسْتَوْفَى عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ رضي الله عنه فِي عَهْدِهِ إلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ شُرُوطَ
الْقَضَاءِ وَبَيَّنَ أَحْكَامَ التَّقْلِيدِ فَقَالَ فِيهِ : أَمَّا بَعْدُ ,
فَإِنَّ الْقَضَاءَ فَرِيضَةٌ مُحْكَمَةٌ وَسُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ , فَافْهَمْ إذَا
أُدْلِيَ إلَيْكَ , فَإِنَّهُ لَا يَنْفَعُ تَكَلُّمٌ بِحَقٍّ لَا نَفَاذَ لَهُ ,
وَآسِ بَيْنَ النَّاسِ فِي وَجْهِكَ وَعَدْلِكَ وَمَجْلِسِكَ حَتَّى لَا يَطْمَعَ
شَرِيفٌ فِي حَيْفِكَ وَلَا يَيْأَسَ ضَعِيفٌ مِنْ عَدْلِكَ . الْبَيِّنَةُ عَلَى
مَنْ ادَّعَى وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ ; وَالصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ
الْمُسْلِمِينَ إلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا ; وَلَا
يَمْنَعُكَ قَضَاءٌ قَضَيْتَهُ أَمْسِ فَرَاجَعْتَ الْيَوْمَ فِيهِ عَقْلَكَ
وَهُدِيتَ فِيهِ لِرُشْدِكَ أَنْ تَرْجِعَ إلَى الْحَقِّ فَإِنَّ الْحَقَّ قَدِيمٌ
, وَمُرَاجَعَةُ الْحَقِّ خَيْرٌ مِنْ التَّمَادِي فِي الْبَاطِلِ ; الْفَهْمَ
الْفَهْمَ فِيمَا تَلَجْلَجَ فِي صَدْرِكَ مِمَّا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ
تَعَالَى وَلَا سُنَّةِ نَبِيِّهِ , ثُمَّ اعْرِفْ الْأَمْثَالَ وَالْأَشْبَاهَ ;
وَقِسْ الْأُمُورَ بِنَظَائِرِهَا , وَاجْعَلْ لِمَنْ ادَّعَى حَقًّا غَائِبًا أَوْ
بَيِّنَةً أَمَدًا يَنْتَهِي إلَيْهِ , فَمَنْ أَحْضَرَ بَيِّنَةً أَخَذْتَ لَهُ
بِحَقِّهِ وَإِلَّا اسْتَحْلَلْتَ الْقَضِيَّةَ عَلَيْهِ , فَإِنَّ ذَلِكَ أَنْفَى
لِلشَّكِّ وَأَجْلَى لِلْعَمَى ; وَالْمُسْلِمُونَ عُدُولٌ بَعْضُهُمْ عَلَى
بَعْضٍ إلَّا مَجْلُودًا فِي حَدٍّ أَوْ مُجَرَّبًا عَلَيْهِ شَهَادَةُ زُورٍ أَوْ
ظِنِّينًا فِي وَلَاءٍ أَوْ نَسَبٍ , فَإِنَّ اللَّهَ عَفَا عَنْ الْأَيْمَانِ
وَدَرَأَ بِالْبَيِّنَاتِ . وَإِيَّاكَ وَالْقَلَقَ وَالضَّجَرَ وَالتَّأَفُّفَ
بِالْخُصُومِ فَإِنَّ الْحَقَّ فِي مَوَاطِنِ الْحَقِّ يُعَظِّمُ اللَّهُ بِهِ
الْأَجْرَ وَيُحْسِنُ بِهِ الذِّكْرَ , وَالسَّلَامُ
.
Dikarenakan
peradilan adalah sebagian dari kewenangan umum, maka yang memiliki kekuasaan
ini (kepala negara) yang dapat menentukan wewenang hakim dalam wilayah
tertentu, dan tidak pada lainnya. Oleh karena itu, Umar bin al-Khattab pada
saat beliau menentukan seseorang untuk menjadi hakim, beliau membatasi wilayah
wewenang mereka hanya pada hal-hal pertikaian perdata saja. Sedangkan
permasalahan pidana dan yang berhubungan dengannya seperti qishâsh, atau hudûd
itu tetap dipegang pemimpin negara, yaitu khalifah sendiri atau penguasa
daerah.
E. Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan
Setelah Khalifah Umar bin al-Khattab RA
meninggal dengan dibunuh, maka kursi kekhalifahan dipegang oleh Saidina Utsman
bin Affan RA dengan dilantik oleh rakyat. Khalifah Utsman adalah orang yang
mengkodifikasi Alquran setelah pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar RA atas
usulan Umar RA.
Sistem pengadilan pada zaman beliau adalah
sama seperti yang telah diatur Umar RA, karena beliau tinggal meneruskan saja
sistem Umar RA yang sudah tertata rapi.
Salah satu perubahan
penting bagi pengadilan Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan RA adalah
dibangunnya bangunan khusus yang digunakan untuk peradilan negara Islam.
Sebelum Khalifah Utsman RA, masjid adalah tempat untuk berperkara.
Utsman juga mengirim pesan-pesan kepada para
pemimpin di daerah lain, petugas menarik pajak, dan masyarakat muslim secara
umum untuk menegakkan kelakuan baik dan mencegah dari kemungkaran. Beliau
memesan kepada petugas menarik pajak untuk menarik pajak dengan adil dan jujur.
Beliau memberi nasihat khusus kepada petugas pajak dengan kata-kata berikut
ini:
أما
بعد, فإن الله خلق الخلق بالحق فلا يقبل إلا الحق خذوا الحق وأعطوا الحق والأمانة
الأمانة قوموا عليها ولا تكونوا أول من يسلبها فتكونوا شركاء من بعدكم الوفاء
الوفاء لا تظلموا اليتيم ولا المعاهد فإن الله خصم لمن ظلمهم
.
Dalam memberi
hukum, Utsman memakai Alquran, sunnah, lalu pendapat khalifah sebelumnya. Kalau
tidak ditemukan, beliau akan bermusyawarah dengan para sahabat.
F. Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Setelah meninggalnya Utsman RA,
Saidina Ali bin Abi Thalib RA menjabat sebagai khalifah. Beliau tidak melakukan
perubahan di dalam peradilan. Beliau juga berpegang pada Alquran, sunnah, lalu
merujuk pada khalifah sebelumnya. Seumpama tidak ditemui, baru beliau
bermusyawarah dengan sahabat yang lain berdasarkan pada ayat: {وشاورهم في الأمر}.
Sesuai dengan khalifah
sebelumnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA juga membayar gaji para hakim dengan
memakai uang yang ada di Bait al-Mâl.
Selain dari itu, dalam usaha Khalifah Ali RA
meningkatkan kualitas peradilan Islam, beliau memberi insruksi kepada Gubenur
Mesir dalam penentuan orang-orang yang akan diangkat menjadi hakim. Di dalam
instruksi itu, ditekankan agar penguasa memilih orang-orang yang akan menjadi
hakim dari orang-orang yang dipandang utama oleh penguasa sendiri, jangan dari
orang-orang yang berpenghidupan sempit, jangan dari orang-orang yang tidak
mempunyai wibawa dan jangan pula dari orang-orang yang loba kepada harta dunia,
di samping mempunyai ilmu yang luas, otak yang cerdas, daya kerja yang
sempurna.
Khalifah Ali bin Abi Thalib telah banyak
memberi hukum atau fatwa yang dijadikan hukum oleh orang-orang setelahnya.
Salah satu kemusykilan hukum yang diselesaikan Ali RA adalah apabila ada
seorang istri yang mana suaminya meninggal dunia sebelum suami tersebut
menjimak istrinya. Sedangkan suami tersebut belum menyerahkan mas kawin kepada
istri tersebut. Maka Ali RA menghukumi bahwa tidak ada hak bagi istri tersebut
mas kawin yang sepadan (مهر المثل), karena diqiyaskan pada wanita
yang tertalak. Ini berdasarkan pada firman Allah SWT:
“لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ
تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً”.
G. Peradilan Islam pada periode Dinasti Bani Umayyah.
Bani
Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah merubah sistem pemerintahan yang
demokratis menjadi monarchi (sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan).
Kerajaan Bani Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya,
tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana dilakukan oleh pemimpin
sebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin. Meskipun mereka tetap menggunakan istilah
Khalifah, namun mereka memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan
jabatannya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa”
yang diangkat oleh Allah.
Kerajaan
Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di
Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132 H/ 750 M. Muawiyah bin Abu
Sufyan adalah seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai
Gubernur Syam pada zaman Khalifah Ustman bin Affan cukup mengantarkan dirinya
mampu mengambil alih kekusaan dari genggaman keluarga Ali Bin Abi Thalib.
Tepatnya Setelah Husein putra Ali Bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah
dalam pertempuran di Karbala. Kekuasaan dan kejayaan. Dinasti Bani Umayyah
mencapai puncaknya di zaman Al-Walid. Dan sesudah itu kekuasaan mereka menurun.
Silsilah keturunan Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syamsi
bin Abdi Manaf bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf. Turunan Nabi
dipanggil dengan keluarga Hasyim (Bani Hasyim), sedangkan keturunan Umayyah
disebut dengan keluarga Umayyah (Bani Umayyah). Oleh karena itu Muawiyah
dinyatakan sebagai pembangun Dinasti Umayyah (Sou’yb,1997:7).
Umayyah
adalah pedagang yang besar dan kaya, yang mempunyai 10 anak laki-laki yang
semuanya mempunyai kekuasaan dan kemuliaan, di antaranya Harb, Sufyan, dan Abu
Sufyan. Dan Abu Sofyanlah yang pernah menjadi pemimpin pasukan Quraisy melawan
Nabi pada perang Badar Kubra. Dilihat dari sejarahnya, Bani Umayyah memang
begitu kental dengan kekuasaan.. Ketika terjadi Fathul Makkah Abu Sufyan diberi
kehormatan untuk mengumumkan pengamanan Nabi SAW, yang salah satunya adalah
barang siapa masuk ke dalam rumahnya maka amanlah dia, selain masuk masjid dan
rumahnya Nabi (Hasan,1993:282). Hal ini berlanjut pada masa khulafah
al-rasyidin, Yazid bin Abi Sufyan ditunjuk oleh Abu Bakar memimpin tentara
Islam untuk membuka daerah Syam. Dan masa Khalifah Umar diserahi jabatan
Gubernur di Damaskus. Hal yang sama dilakukan Umar adalah menyerahkan daerah
Yordania kepada Muawiyah. Bahkan setelah Yazid wafat, daerah yang diserahkan
kepadanya diberikan kepada Muawiyah. Setelah Umar wafat dan digantikan Ustman,
maka kerabatnya dari Bani Umayyah (Ustman termasuk dari Bani Umayyah) banyak
yang menguasai pos-pos penting dalam pemerintahan.
Pada
masa Ustman inilah kekuatan Bani Umayyah, khususnya pada Muawiyah semakin
mengakar dan menguat. Ketika dia diangkat menjadi penguasa pada wilayah
tertentu dalam jangka yang panjang dan terus-menerus. Sebelumnya dia telah
menjadi Wali Damaskus selama 4 tahun, yaitu pada masa Umar, lalu Ustman
menggabungkan baginya daerah Ailah sampai perbatasan Romawi dan sampai pantai
laut tengah secara keseluruhan. Bahkan dia membiarkannya memerintah daerah
tersebut selama 12 tahun penuh, yaitu sepanjang masa kekhilafahannya
(al-Maududi,1993:146-147).Pada realitasnya banyak sejarawan yang memandang
negatif terhadap Muawiyah, karena keberhasilannya dalam perang siffin dicapai
melalui cara abitrase yang curang. Dia juga dituduh sebagai penghianat
prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam. Karena dialah yang mengubah
model suksesi kepala negara dari proses demokrasi menuju system
1. Basis Pemerintahan Umayyah
Keberhasialan
Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan
diplomasi Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali, akan tetapi ia memiliki basis
rasional yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Adapun
faktor keberhasilan tersebut adalah:
a. Dukungan yang
kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah.
b. Sebagai
administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam menempatkan para
pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
c. Muawiyah
memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat
(hilm) sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu,
yang mana seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara
mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan
dan intimidasi.
2. Kedudukan Khalifah
Walaupun
Muawiyah mengubah sistem pemerintahan dari musyawarah menjadi monarkhi, namun
Dinasti ini tetap memakai gelar Khalifah. Namun ia memberikan interpretasi baru
untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya ‘Khalifah Allah” dalam
pengertian “penguasa” yang diangkat Allah dalam memimpin umat dengan
mengaitkannya kepada al Qur’an (2:30). Atas dasar ini Dinasti menyatakan bahwa
keputusan-keputusan Khalifah berdasarkan atas kehendak Allah, siapa yang
menentangnya adalah kafir (Pulungan, 1997:167-168).
Dengan
kata lain pemerintahan Dinasti Bani Umayyah bercorak teokratis, yaitu penguasa
yang harus ditaati semata-mata karena iman. Seseorang selama menjadi mukmin
tidak boleh melawan khalifahnya, sekalipun ia beranggapan bahwa Khalifah adalah
seseorang yang memusuhi agama Allah dan tindakan-tindakan Khalifah tidak sesuai
dengan hukum-hukum syariat. Dengan demikian, meskipun pemimpin Dinasti ini
menyatakan sebagai Khalifah akan tetapi dalam prakteknya memimpin ummat Islam
sama sekali berbeda dengan Khalifah yang empat sebelumnya, setelah Rasulullah.
3. Sistem Pergantian Kepala Negara dan Upaya Penegakan Dinasti
Dengan
meninggalnya Khalifah Ali, maka bentuk pemerintahan kekhalifahan telah
berakhir, dan dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan kerajaan (Dinasti), yakni
kerajaan Bani Umayyah (Dinasti Umayyah). Daulah Bani Umayyah didirikan oleh
Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan
berbagai cara, siasat, politik dan tipu muslihat yang licik, bukan atas pilihan
kaum muslimin sebagaimana dilakukan oleh para Khalifah sebelumnya. Dengan
demikian, berdirinya Daulah Bani Umayyah bukan berdasar pada musyawarah atau
demokrasi. Jabatan raja menjadi turun-temurun, dan Daulah Islam berubah
sifatnya menjadi Daulah yang bersifat kerajaan (monarkhi). Muawiyah tidak
mentaati isi perjanjian yang telah dilakukannya dengan Hasan ibn Ali ketika ia
naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah
Muawiyah akan diserahkan kepada pemilihan ummat Islam. Hal ini terjadi ketika
Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya,
Yazid. Sejak saat itu suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai
(al-Maududi, 1984:167).
Disamping
usaha tersebut daulah Bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga
negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai
hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan. Oleh karena itu,
Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh
seorang ketua Hakim (Qathil Qudhah). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara
dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah
Nabi.
Disamping
itu kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para
hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat
tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu.
Dalam
sejarah dunia peradilan Islam terutama pada masa dinasti umayyah ada tiga
kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu :
①. Pengadilan Al-Qadla
Kata
Al-Qadla secara harfiah berarti “memutuskan atau menetapkan” sedangkan menurut
istilah fikih Al-Qadla berarti menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa
atau sengketa untuk diselesaikan secara adil dan mengikat. Pengadilan ini
mengadili perkara-perkara perdata (termasuk didalamnya hukum keluarga) dan
pengadilan pidana (jinayat). Selain
perkara perdata dan pidana pengadilan ini juga mendapat tambahan wewenang yang
dalam pelaksanaannya tidak untuk menyelesaikan perkara. Misalnya menikahkan
wanita yang tidak punya wali, pengawasan baital-mal dan lain-lain. Orang yang
menyelesaikan perkara dalam pengadilan ini disebut qadli hakim. Misalnya Qadli
Syureih yang pernah memangku jabatan ini dalam dua periode yaitu pada
penghujung pemerintahan Khulafaurrasyidin dan awal pemerinthan Bani Umayyah.
②. Pengadilan Al-Hisbah
Lembaga
pengadilan resmi Negara ini wewenang utamanya adalah menyelesaikan atau
mengadili pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak perlu
proses peradilan dalam menyelesaikannya. Adapun perkara yang diselesaikan
adalah masalah pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual makanan
kadaluwarsa dan memuat barang yang melebihi kapasitas kendaraan. Asal muassal
lahirnya pengadilan ini barakar dari praktek Rasulullah SAW yang mana pada
waktu itu beliau berjalan di pasar dan mendapatkan penjual bahan makanan yang
mengandung cacat tersembunyi. Lalu beliau berkata : “Mangapa cacat ini
disembunyikan sampai orang tidak mengetahuinya?”. Kemudian beliau melanjutkan
dengan memberikan nasehat : “Hai orang-orang! Janganlah ada diantara kaum
muslim yang berlaku curang. Barang siapa berlaku curang, maka ia bukanlah dari
pihak kami” (alhadits).”
Kesimpulannya
dalam larangan ini Rasulullah SAW mencegah perbuatan yang tidak terpuji.
Kekuasaan/pengadilan hisbah ini mulai melembaga pada masa pemerintahan Umar bin
Khathab yang kemudian berkembang pada masa daulah Bani Umayyah.
③. Pengadilan Al-Madzalim
Kata
al-madzalim adalah jama’ dari al-madzlamat yang menurut bahasa berarti nama
bagi sesuatu yang di ambil oleh orang dzalim dari tangan seseorang. Jadi
pengadilan ini di bentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang madzlum (teraniya)
akibat sikap semena-mena dari pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang
dalam penyelesaianya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qadla),
dan pengadilan (al-hisbah).
Pengadilan
ini menyelesaikan perkara sogok-menyogok dan tindakan korupsi. Orang yang
menangani/menyelesaikan perkara ini disebut dengan wali al-madzalim Adapun
syarat mutlak untuk menjadi hakim di pengadilan tingkat ini adalah keberanian
atau pemberani serta bersedia melakukan hal-hal yang tidak sanggup di lakukan oleh
hakim biasa untuk mengadili pejabat yang terlibat dalam sengketa.
Dalam
pelaksanaannya bentuk pengadilan seperti ini sudah di praktekkan oleh
Rasulullah SAW di masa hidupnya. Namun, pembentukan lembaga secara khusus baru
di didirikan pada masa pemerintahan Bani Umayah, terutama pada masa Abd. Malik
bin Marwan. Menurut Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyat wa
al-walayat al-Diniyat, Abd. Malik bin Marwan adalah orang pertama yang
menjalankan/mendirikan lembaga pengadilanal-madzalim dalam pemerintahannya.
Demikaian
halnya pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abd Aziz, yang pertama-tama
yang ia lakukan adalah mengurus dan membela harta rakyat yang pernah dizhalimi
oleh para pejabat/penguasa sebelumnya.
H. Peradilan Islam pada periode Dinasti Bani Abasyiah
Setelah
berakhirnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah maka beralihlah Khilafah Islamiyah
kepada keluarga Muhammad SAW yaitu Bani Abbas bin Abdul Mutholib yang ditandai
dengan pelantikan Khalifah Pertama Abul Abbas As-Saffah, yang dibaiat pada tanggal
3 Rabiul Awwal 132 H di Kufah dan menjadikan pusat pemerintahannya di Kufah.
Dinasti Abbasiyah ini terbagi kepada tiga priode besar sebagai berikut :
1. Priode pertama
Periode
pertama adalah priode kekuatan (kejayaan) kerajaan yang ditandai dengan kehebatannya
dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan pengembangan peradaban Islam.
Priode ini berlangsung dari tahun 132 H sampai dengan 247 H. Ibukota kerajaan
dipindahkan dari Damaskus (pada Dinasti Bani Umayyah) ke Anbar di Irak pada
masa As-Saffah dan dipindahkan lagi ke Bagdad pada masa Abu Ja’far al-Mansur
tahun 147 H dan kemudian pindah lagi ke Samura (Surra man ro’aa artinya yang
melihat akan senang) pada masa Al-Mu’tashim bin Harun al-Rasyid pada tahun 221
H.
2. Priode kedua
Periode
kedua adalah ditandai dengan kuatnya pengaruh orang-orang Turki pada Khalifah
yang dimulai dengan terbunuhnya Al-Mutawakkil Sang Khalifah dan diganti oleh
anaknya Al-Mu’tashim pada tahun 247 H dan tetaplah Sammura sebagai ibukota
kerajaan hingga dipindahkannya ibukota kerajaan ke Bagdad untuk kedua kalinya
oleh Al-Mu’tadid Billah pada tahun 279 H. Satu hal yang perlu dicatat bahwa
pada masa ini posisi golongan Arab sangat lemah sebab keturunan Persia telah
masuk pada kerajaan pada masa Al-Ma’mun kemudian keturunan Turki
pada masa Al-Mu’tashim, kemudian berlangsung pada masa Al-Buwaihi dan Saljuk
hingga wafatnya Sultan Mas’ud Al-Saljuki pada tahun 590 H. Dan setelah itu
terbebaslah kerajaan Abbasiyah dari pengaruh Turki dan Persia hingga datangnya
Hulagu Raja tartar ke Bagdad dan membunuh Al-Mu’tashim Billah Khalifah terakhir
Bani Abbasiyah di Irak pada tahun 656 H.
3. Priode ketiga
Periode
ketiga ditandai dengan berpindahnya
Khalifah ke Mesir pada tahun 659 H yang ditandai dengan pengangkatan
Al-Mustaushin dan orang-orang sesudahnya. Khalifah ini bertahan hingga wafatnya
Al-Mutawakkil Ali bin Al-Mustamsik pada tahun 995 H. Priode ini posisi khalifah
sangat lemah sebab khalifah hanyalah sekedar simbol, sementara kekuatan ada
pada kerajaan-kerajaan kecil. Kondisi ini semacam negara federal di zaman
modern.
①. Muculnya Mazhab-Mazhab
Setelah
Kota Bagdad dijadikan sebagai ibukota kerajaan Abbasiyah maka berkembanglah
tradisi keilmuan Islam yang sangat pesat dan para ulama berkumpul di kota ini
dari segala penjuru untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga
jadilah kota Bagdad sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan sampai Bani
Abbasiyah mengalami kemunduran.
Setelah dilakukan pengumpulan
Hadis Nabi Muhammad SAW pada masa Umar bin Abdul Aziz dari Khalifah Bani
Umayyah, maka pada masa Al-Manshur dari Khalifah Bani Abbasiyah merintahkan
para ulama untuk menyusun kitab tafsir dan hadis. Kemudian lahirlah
mazhab-mazhab dalam bidang fiqh pada pertengahan abad kedua hijriyah yaitu Abu
Hanifah (w. 150 H) yang dikenal dengan tokoh Ahlul Ra’yi di Iraq. Kemudian Imam
Malik bin Anas (w.179 H) di Hijaz sebagai ulama Madinah dari kalangan
muhadditsin dan fuqoha’. Kemudian Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (w.204 H)
dari Makkah dan Madinah hingga markaz keilmuan di Bagdad Iraq kemudian ke
Masjid Jami’ Amru bin Ash di Mesir untuk meletakkan dasar-dasar Ushul Fiqh
Islam dan Qa’idah-Qa’idah Ijtihad. Kemudian dari Madrasah Ahlul Muhadditsin dan
halaqah Al-Syafi’i lahir pula Ahmad bin Hanbal (w.241 H) yang ahli dalam bidang
fiqh dan hadis.
Para ulama-ulama tersebut di atas juga
memberikan perhatian yang sangat besar dalam soal peradilan dan permasalahan-permasalahannya
dengan penjelasan yang lengkap dan nyata. Para ulama itu merumuskan
macam-macamnya, pembahagiannya, rukun-rukunnya, dan syarat-syaratnya.
Syarat-syarat tersebut mencakup syarat-syarat menjadi Qadhi, adab-adabnya,
hubungan Qadhi dengan pihak-pihak yang berperkara dan lain sebagainya.
Mengingat bahwa
mazhab-mazhab sudah berkembang sangat pesat, kemudian para hakim tidak lagi
memiliki ruh ijtihad sementara telah berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i
dan Hanbali, maka para hakim diperintahkan memutuskan perkara sesuai dengan
mazhab-mazhab yang dianut para penguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq
umpanya para hakim memutuskan perkara dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan
Magribi para hakim memutus perkara dengan mazhab Maliki, dan di Mesir para
hakim memutus perkara dengan Mazhab Syafi’i. Dan apabila yang berperkara tidak
menganut mazhab sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim menyerahkan putusan atau
pemeriksaan perkara kepada hakim yang semazhab dengan yang berperkara itu.
Dan terkadang pada daerah-daerah yang luas dan
penduduknya heterogen dari segi aliran-aliran mazhab, maka hakim yang
diangkatpun ada yang berasal dari mazhab Hanafi, ada yang berasal dari mazhab
Syafi’i, ada yang berasal dari mazhab Maliki, dan ada yang berasal dari mazhab
Hanbali dan bahkan ada yang berasal dari mazhab Ismaili. Dan bahkan lebih
daripada itu seperti mazhab Syi’ah, Auza’i, Daud az-Zhahiri, Ath-Thobari, dan
lain sebagainya.
Secara umum mazhab yang empatlah
yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai Dinasti Abbasiyah sampai dengan
sekarang ini. Dan oleh karena itu pulalah maka masa Abbasiyah ini dikenal dalam
sejarah sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini pulalah disusun ilmu
Ushul Fiqh untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali hukum dari al-Qur’an
dan al-Sunnah. Perlu menjadi catatan bahwa para hakim pada masa ini dalam
memutuskan perkara berdasarkan atas mazhab-mazhab yang dianut oleh hakim dan
masyarakat, dan apabila ada masyarakat yang berperkara tidak sesuai dengan
mazhab hakim, maka hakim tersebut menyerahkannya kepada hakim yang lain yang
semazhab dengan yang berperkara.
②. Penolakan Menjadi Hakim
Ada satu keinginan baik dari pemerintah Bani
Abbasiyah yaitu para khalifah-khalifahnya bermaksud supaya semua perbuatan
mereka dicelup dengan celupan agama. Lantaran itu mereka membimbing hakim
supaya berjalan sesuai dengan keinginan mereka, dampak negatifnya adalah para
hakim memutuskan perkara dibawah kekuasaan pengaruh pemerintah atau dalam kata
lain putusan hakim harus sesuai dengan keinginan pemerintah. Putusan yang
sesungguhnya ada pada pemerintah, sedangkan hakim hanya melegitimasi saja
dengan mengetok palu sidang.
Atas dasar itulah maka para ulama
banyak yang menolak menjadi hakim sebagai contoh adalah Imam Abu Hanifah
menolak jabatan hakim tersebut pada masa Abu Ja’far al-Manshur. Abu Hanifah
tidak menyukai khalifah-khalifah Bani Abbasiyah, karena khalifah-khalifah itu
sering benar merusakkan perjanjian dan sering membunuh orang-orang yang telah
dilindungi. Dan itu mereka lakukan melalui fatwa hakim, seperti yang telah
dikeluarkan oleh Abul Abbas terhadap Ibnu Hubairah, dan seperti tindakan
Al-Manshur terhadap Muhammad bin Abdullah yang terkenal dengan julukan
An-Nafsuz Zakiah, dan tindakan Harun Al-Rasyid terhadap Yahya bin Abdullah.
Seringkali khalifah Abbasiyah mencampuri putusan hakim.
Banyaknya mazhab-mazhab dalam bidang hukum dan
adanya penolakan menjadi hakim oleh para ulama yang berkompeten akibat
banyaknya campur tangan khalifah terhadap putusan hakim, menyebabkan terjadinya
kekacauan-kekacauan dalalam bidang hukum sebab tidak ada satu pedoman khusus
yang dapat dipedomani dalam memutuskan sebuah perkara. Hal ini mendorong
Abdullah bin Muqaffa menulis risalah yang disampaikan kepada Abu Ja’far
Al-Manshur, agar beliau menyusun satu peraturan umum yang berlaku untuk seluruh
daerah negerinya. Khalifah memenuhi permintaan ini dan memerintahkan Imam Malik
bin Anas untuk menyusun satu kitab pedoman dalam penetapan hukum bagi ummat
Islam. Imam Malikpun menyanggupinya dan mengarang buku yang diberi judul
Al-Muwaththo’. Khalifah meminta agar kitab Al-Muwaththo’ ini dijadikan pedoman
dalam menetapkan perkara, namun justru Imam Malik yang merasa keberatan dan
tidak membolehkan kitabnya itu dijadiklan pedoman dengan alasan tidak merasa enak
hati apabila pendapatnya itu menghapus pendapat-pendapat ulama lainnya seperti
pendapat Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah.
③. Pembentukan Qadhil Qudhah / Qadhil Jama’ah.
Istilah Qadhil Qudhah dan Qadhil Jama’ah
adalah dua istilah yang sama dan dipakai pada negeri yang berbeda. Di
Pemerintahan Bani Abbasiyah dikenal dengan istilah Qadhil Qudhah, sedangkan di
pemerintahan Bani Umayyah di Andalusia (masa keduanya bersamaan) dikenal dengan
istilah Qadhil Jama’ah. Qadhil Qudhah ataupun Qadhil Jama’ah pada masa sekarang
ini semacam Ketua Mahkamah Agung (penulis) atau menurut Hasbi Ash-Shiddiqie
sebagai Menteri Kehakiman.
Qadhil Qudhah ataupun Qadhil Jama’ah ini
berkedudukan di ibukota negara dan dialah yang mengangkat hakim-hakim daerah.
Qadhil Qudhah yang pertama adalah Al-Qadhi Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim
Al-Anshari, Sahabat dekat dan pelanjut mazhab Imam Abu Hanifah dan pengarang
kitab Al-Kharaj. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid yang
memang sangat memuliakan Abu Yusuf dan sangat memperhatikan hakim-hakim serta
gerak-gerik mereka.
Di masa Abbasiyah inilah
peradilan dibentuk merupakan instansi tersendiri. Dengan tindakan ini maka
hakim-hakim itu mempunyai daerah-daerah tertentu dibawah pengawasan Qadhil
Qudhah yang mengatur lembaga peradilan ini. Kemudian di waktu daerah-daerah
Islam satu demi satu melepaskan diri dari pemerintahan Bagdad, maka tiap-tiap
daerah itu diangkat pula Qadhil Qudhah seperti di Damaskus, di Mesir, di
Bagdad, di Madinah dan sebagainya, masing-masing ada Qadhil Qudhah.
Istilah Qadhil Qudhah di
Andalusia dari Pemerintahan Bani Umayyah adalah memakai istilah Qadhil Jama’ah.
Qadhil Jama’ah ini adalah Qadhi yang berwenang mengangkat hakim-hakim daerah.
Kepada para hakim-hakim di masa ini diberikan fasilitas-fasilitas yang
meninggikan kepribadian meraka dan menghalangi mereka bercampur baur dengan
manusia ramai pada bukan waktu-waktu yang telah ditentukan (waktu-waktu sidang
- penulis) dan kepadanya diberikan beberapa orang pegawai. Qadhil Jam’ah
pertama di Andalusia adalah Yahya bin Yazid At-Tajibi. Istilah Qadhil Jama’ah
ini adalah istilah baru yang tidak terdapat istilah yang sama sebelumnya.
④. Pakaian Qadhi
Sebelum diangkatnya Abu Yusuf
menjadi Qadhil Qudhah pada pemerintahan Bani Abbasiyah, para Qadhi memakai
pakaian yang biasa dipakai oleh manusia pada umumnya, namun setelah
pengangkatan Abu Yusuf menjadi Qadhil Qudhah barulah ditetapkan para hakim itu
memakai pakaian khusus. Pakaian khusus ini tidak diketahui apakah diambil dari
Persia atau dari Romawi ataukah itu hasil buah pikiran Abu Yusuf. Hanya saja
menurut Ibnu Khillikan bahwa Abu Yusuf adalah orang yang pertama sekali memakai
pakaian ulama secara khusus pada masa itu dan adalah pakaian manusia sebelum
itu sama sebab pakaian tidak akan membedakan seseorang dengan orang lain.
Menurut Al-Badhy bahwasanya pakaian yang telah ditetapkan Abu Yusuf itu
bukanlah sebuah keharusan dan bersifat resmi. Di dalam penjelasan Abdullah bin
Ahmad, bahwasanya para hakim itu memakai pakaian hitam pada hari senin dan
kamis dan warna putih pada hari-hari lainnya.
Adapun di Andalusia sebagaimana
disebutkan oleh Al-Khasani bahwasanya Qadhil Jama’ah Sa’id bin Sulaiman
Al-Ghofaqi, para hakim bersidang di masjid dengan memaakai Jubah wol berwarna
putih dan di kepalanya (Tidak ada petunjuk apa maknanya/) warna putih dan
sejenis Jubah Putih. Sedangkan kenderaannya adalah Bughal (peranakan campuran
kuda dan himar) yang cantik yang dihiasi dan dilengkapi dengan emas dan perak.
⑤. Tempat Persidangan
Tempat persidangan pengadilan pada masa Bani Abbasiyah
diadakan di suatu majelis yang luas, yang memenuhi syarat kesehatan dan
dibangun di tengah-tengah kota, dengan menentukan pula hari-hari yang
dipergunakan untuk persidangan memeriksa perkara. Para hakim tidak dibenarkan
memutuskan perkara di tempat-tempat yang lain. Dan dalam waktu ini pula
diadakan beberapa perbaikan seperti menghimpun putusan-putusan secara teliti
dan sempurna, serta mendaftarkan pula wasiat-wasiat dan hutang piutang.
⑥. Bidang Wewenang Hakim
Adapun bidang-bidang yang menjadi wewenang
hakim pada masa ini bertambah luas, bukan hanya masalah-masalah yang berkaitan
dengan keperdataan, akan tetapi juga menyelesaikan masalah-masalah waqaf dan
menunjuk pengampu (kurator) untuk anak-anak di bawah umur. Bahkan kadang-kadang
hakim-hakim ini diserahkan juga urusan-urusan kepolisian, penganiayaan
(mazhalim) yang dilakukan oleh penguasa, qishash, hisbah, pemalsuan mata uang
dan Baitul Maal. Dan bahkan kepada Yahya bin Aktsam, seorang hakim di Mesir di
masa Al-Makmun dan juga Munzir bin Sa’id Al-Buluthi Qadhi Abdurrahman An-Nashir
dari Bani Umayyah di Andalusia diserahkan urusan angkatan bersenjata.
Dalam hal ini Ibnu Khaldun dalam kitabnya
Muqaddimah menyatakan bahwa, Kedudukan peradilan selain dari menyelesaikan
perkara-perkara sengketa, bertugas juga memelihara hak-hak umum, memperhatikan
keadaan anak-anak yang dibawah umur, orang yang tak cakap bertindak secara
hukum seperti anak yatim, orang gila, orang pailit dan sebagainya dan mengurus
juga harta-harta wasiat, wakaf, menjadi wali bagi wanita yang tidak berwali dan
memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatan lalu lintas, pembangunan-pembangunan
dan memeriksa keadaan-keadaan saksi, agar dapat diketahui mana saksi yang adil
dan mana saksi yang tidak adil.
⑦. Beberapa Orang Hakim di Satu Wilayah
Pada mula-mulanya di setiap
daerah diangkat seorang hakim sesuai dengan mazhab yang paling dominan di
daerah itu. Maka setelah pemerintahan Abbasiyah bertambah luas maka diangkatlah
beberapa orang hakim pada satu wilayah yang terdiri dari berbagai mazhab yang
berkembang di daerah itu. Maka di tiap-tiap daerah diangkatlah hakim-hakim dari
mazhab Jumhur yaitu hakim mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali.
Pada masa ini, di samping adanya lembaga
peradilan, dibenarkan pula adanya hakam-hakam (Badan Arbitrase Lembaga Tahkim)
yang memutuskan perkara antara orang-orang yang mau menyerahkan perkara-perkara
kepadanya atas dasar kerelaan kedua belah pihak. Lembaga Tahkim ini dibenarkan
dalam Islam. Dan Undang-Undang modernpun ternyata telah banyak mencontoh dan membentuk
lembaga tahikm ini. Selain itu ada lagi apa yang disebut dengan Wilayatul
Hisbah dan Wilayatul Mazhalim yang dipisahkan dari wilayah peradilan.
⑧. Lembaga Tahkim
Tahkim dalam pengertian bahasa Arab berarti
“Menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu”. Di dalam
pengertian istilah, Tahkim adalah “Dua orang atau lebih mentahkimkan kepada
seseorang di antara mereka untuk diselesaikan sengketa dan diterapkan hukum
syara’ atas sengketa mereka itu”. Maka kedudukan tahkim adalah lebih rendah
daripada kedudukan peradilan. Karena hakim berhak memeriksa saling gugat yang
tak dapat dilakukan oleh seorang muhakkam. Oleh karena itulah maka Abu Yusuf
tidak membolehkan kita mengadakan sesuatu syarat terhadap tahkim itu. Selain
daripada itu hukum yang diberikan oleh muhakkam hanya berlaku bagi orang-orang
yang menerima putusannya, sedang putusan hakim harus berlaku walaupun tidak
diterima oleh orang yang bersangkutan.
Adapun bidang-bidang yang dapat ditahkim
menurut Ibnu Qudamah adalah hukum yang ditetapkan oleh hakam berlaku dalam
segala rupa perkara, terkecuali dalam bidang nikah, li’an, qazaf dan qishash.
Dalam hal-hal ini penguasa saja yang dapat memutuskannya. Sedangkan menurut
Ibnu Farhan dalam At-Tabshirat mengatakan bahwa, putusan hakam itu berlaku
dalam bidang-bidang harta, tidak berlaku dalam bidang pidana, li’an, qishash,
qadzaf, talak atau menentukan keturunan. Adapun mengenai putusan yang diberikan
oleh hakam, harus dilaksanakan oleh orang yang bersangkutan sesuai dengan
pendapat Imam Ahmad, Abu Hanifah dan menurut suatu riwayat dari Asy-Syafi’i.
Akan tetapi menurut riwayat yang lain dari Asy-Safi’i, hukum yang diberikan
oleh hakam itu tidak harus dituruti oleh yang bersangkutan.
⑨. Wilayah Mazhalim
Wilayah mazhalim adalah suatu kekuasaan dalam
bidang pengadilan, yang lebih tinggi daripada kekuasaan hakim dan kekuasaan
muhtasib. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam
wewenang hakim biasa. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang
dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang
yang berkuasa. Sebahagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini
adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya dan
sebagiannya pula tidak memerlukan pengaduan dari yang bersangkutan, tetapi
memang jadi wewenang lembaga ini untuk memeriksanya.
Lembaga mazhalim ini telah terkenal sejak
zaman dahulu. Kekuasaan ini terkenal dalam kalangan bangsa Persia dan dalam
kalangan bangsa Arab di zaman Jahiliyah. Di masa Rasulullah SAW masih hidup,
maka Rasul sendiri yang menyelesaikan segala rupa pengaduan terhadap kezaliman
para pejabat. Para Khulafaurrasyidin tidak mengadakan lembaga ini, karena
anggota-anggota masyarakat pada masa itu masih dapat dipengaruhi oleh
ajaran-ajaran agama. Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi di antara mereka
dapat diselesaikan oleh pengadilan biasa. Akan tetapi di akhir zaman
pemerintahan Ali bin Abi Thalib beliau merasa perlu mempergunakan
tindakan-tindakan yang keras dan menyelidiki pengaduan-pengaduan terhadap
penguasa-penguasa yang berbuat zalim. Tetapi Ali belum lagi menentukan
hari-hari yang tertentu untuk meneliti perkara-perkara ini. Permulaan khalifah
yang sengaja mengadakan waktu-waktu tertentu untuk memperhatikan
pengaduan-pengaduan rakyat kepada para pejabat ialah Abdul Malik bin Marwan. Di
dalam memutuskan perkara, Abdul Malik bin Marwan berpegang pada pendapat para
hakimnya dan ahli-ahli fiqihnya. Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah
yang mempertahankan kebenaran dan membela rakyat dari kezaliman. Oleh karenanya
beliau mengembalikan harta-harta rakyat yang diambil oleh Bani Umayyah secara
zalim. Pada pemerintahan Bani Abbasiyah yang pertama sekali mempelopori dan
melaksanakan Wilayatul Mazhalim ini adalah Al-Mahdi.
Prof. Dr. Tengku Hasbi Ash-Shiddiqe menyatakan
bahwa di dalam risalah Al-Kharaj, Abu Yusuf menganjurkan kepada Khalifah Harun
Al-Rasyid supaya mengadakn sidang-sidang untuk memeriksa pengaduan-pengaduan
rakyat terhadap para pejabat, sebab kerapkali para khalifah dahulu menyerahkan
tugas ini kepada wazir-wazir dan kepala daerah atau hakim-hakim. Mereka
menentukan hari-hari tertentu untuk menerima pengaduan rakyat terhadap para
pejabat negara. Pengadilan untuk memutuskan perkara-perkara kezaliman, pada
masa itu dilakukan di masjid-masjid. Akan tetapi penguasa yang mengetahui
sidang mazhalim ini dilengkapi dengan bermacam-macam aparat agar pengadilannya
mempunyai kewibawaan yang penuh dan dapat melaksanakan putusan-putusannya.
Al-Mawardy di dalam Al-Ahkamus Sulthaniyah menerangkan
bahwa perkara-perkara yang diperiksa oleh lembaga ini ada 10 macam, yaitu :
ü Penganiayaan para penguasa, baik terhadap perorangan maupun
terhadap golongan.
ü Kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan
zakat dan harta-harta kekayaan negara yang lain.
ü Mengontrol/mengawasi keadaan para pejabat.
ü Pengaduan yang diajukan oleh tentara yang digaji lantaran gaji
mereka dikurangi ataupun dilambatkan pembayarannya.
ü Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang dirampas
oleh penguasa-penguasa yang zhalim.
ü Memperhatikan harta-harta wakaf.
ü Melaksanakan putusan-putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan
oleh hakim-hakim sendiri, lantaran orang yang dijatuhkan hukuman atasnya adalah
orang-orang yang tinggi derajatnya.
ü Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang mengenai maslahat
umum yang tak dapat dilaksanakan oleh petugas-petugas hisbah.
ü Memelihara hak-hak Allah, yaitu ibadat-ibadat yang nyata seperti
Jum’at, Hari Raya, Haji dan Jihad.
ü Menyelesaikan perkara-perkara yang telah menjadi sengketa di
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Lembaga Mazhalim
sebagaimana tersebut di atas dilengkapi dengan kelengkapan-kelengkapan sebagai
berikut :
F Pegawa-pegawai yang merupakan pegawai dan penjaga yang akan
bertindak terhadap seseorang yang membangkang di dalam masa pemeriksaan.
F Hakim-hakim yang pandai untuk ditanya pendapatnya tentang
jalannya pemeriksaan (Saksi Ahli Penulis).
F Ahli-ahli fiqh untuk ditanyakan pendapatnya di dalam masalah itu
(Saksi Ahli Penulis).
F Panitera untuk mencatat segala keterangan yang diberikan oleh
masing-masing pihak.
F Saksi untuk dipergunakan di masa-masa persidangan, sebagai orang
yang diminta persaksiannya untuk menyaksikan putusan-putusan yang diberikan
oleh ketua pengadilan mazhalim.
⑩. Wilayah Hisbah
Hisbah adalah suatu tugas keagamaan, masuk ke
dalam bidang amar ma’ruf nahyu ‘anil munkar. Tugas ini merupakan suatu tugas
fardhu yang harus dilaksanakan oleh penguasa. Karenanya penguasa harus
mengangkat untuk tugas ini orang-orang yang dipandang cakap. Tugas daripada lembaga
ini adalah memberikan bantuan kepada orang-orang yang tidak dapat mengembalikan
haknya tanpa bantuan dari petugas-petugas hisbah. Selain itu lembaga ini
bertugas mengawasi berlaku tidaknya undang-undang umum dan adab kesusilaan yang
tidak boleh dilanggar oleh seorangpun. Dan terkadang lembaga ini memutuskan
hal-hal yang perlu segera diselesaikan. Lembaga ini pertama kali dibentuk oleh
Umar Bin Khattab, namun lembaga ini baru terkenal di masa Al-Mahdi pada
Pemerintahan Bani Abbasiyah.
Ketua
lembaga hisbah harus mengangkat petugas-petugas hisbah di seluruh daerah yang
masuk ke dalam kekuasaannya. Dia duduk di masjid sedang wakil-wakilnya itulah
yang diperintah untuk mengamati keadaan yang berlaku di pasar dan di
tempat-tempat yang harus diawasi. Orang yang diangkat menjadi muhtasib harus
orang yang mempunyai kemampuan berijtihad dalam hukum-hukum agama. Dalam pada
itu ada yang berpendapat bahwa orang yang diangkat menjadi muhtasib tidak perlu
seorang mujtahid tetapi dia harus mengetahui segala perbuatan-perbuatan munkar
yang disetujui oleh ulama.
Ketua lembaga hisbah bertugas menyuruh ma’ruf
dan mencegah munkar, dan membimbing masyarakat untuk memelihara
kemaslahatan-kemaslahatan umum, mencegah penduduk membangun rumah-rumahnya yang
menyebabkan sempitnya jalan-jalan umum atau meletakkan barang dagangan di
tempat-tempat yang bisa menghalangi lalu lintas, serta mencegah buruh-buruh
membawa bebanan di luar batas kemampuan dengan kenderaan-kenderaan yang memuat
barang lebih daripada daya angkutnya (Semacam Satpol PP di Pekanbaru).
Tugas Ketua Lembaga Hisbah lainnya adalah
memerintahkan kepada pemilik-pemilik rumah yang hampir rubuh supaya segera
membongkar rumahnya agar jangan menimbulkan bencana bagi orang lain. Bahkan dia
mempunyai kewajiban untuk memberi ajaran kepada guru-guru yang memukul muridnya
lebih daripada patut dan dia harus pula bertindak terhadap tetangga-tetangga
yang mengganggu hak-hak sesama tetangga. Masuk juga dalam bidang tugasnya
adalah masalah penipuan dalam sukatan, takaran dan timbangan atau sesuatu
penipuan dalam jual beli. Termasuk di dalamnya orang yang menangguh-nagguhkan
pembayaran hutang (Pengawas Pasar Penulis).
Kesemua tugas-tugas tersebut di
atas pada dasarnya adalah tugas utama lembaga hisbah yang tercakup dalam Amar
Ma’ruf dan Nahi Munkar. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar ini adalah tugas pokok dari
lembaga hisbah. Hanya saja bagaimana bentuk daripada Amar Ma’ruf dan Nahi
Munkar itu, sudah barang tentu akan berbeda-beda antara satu daerah dengan
daerah yang lain. Secara umum Amar Ma’ruf itu terbahagi kepada tiga bahagian
besar yaitu :
C Yang berhubungan dengan haq Allah SWT.
C Yang berhubungan dengan haq sesama manusia.
C Yang berhubungan dengan haq Allah SWT dan manusia sekaligus.
Sedangkan yang
berkaitan dengan Nahi Munkar juga terbahagi kepada tiga bahagian besar sebagai
berikut :
] Yang berhubungan dengan ibadat.
] Yang berhubungan dengan mahzhurat.
] Yang berhubungan dengan mu’amalat.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah membahas
secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1. Pada Masa Pra islam (masa Jahiliyah)
system peradilan masih berlum tertata bahkan bisa dikatakan belum ada.
Karena pada masa ini apabila terjadi suatu perselisihan maka diselesaikan
dengan memanggil penengah (arbitrator) untuk menyelesaikannya. Dan arbitrator
tersebut dalam menyelesaikan suatu masalah tidak terkonsep dengan suatu
kepastian hokum. Karena Tradisi dan kebiaaan yang berlaku di masing-masing
kabilah (suku)-lah yang lantas menjadi pedoman utama penyelesaian berbagai
persoalan tersebut.
2. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar RA
beliau tidak melakukan perubahan sistem peradilan seperti yang telah
ditinggalkan Nabi Muhammad SAW. Diantara kebijakan-kebijakan Abu Bakar ialah:
C
Pengiriman pasukan dibawah
Pimpinan Usamah ke Romawi;
C
Memberantas Pembangkang
zakat;
C
Perang Riddah dan
pengumpulan Al-Qur’an;
C
Perluasan wilayah ke Irak,
Syiria, Hirab;
C
Memerangi Nabi palsu;
C
Kekuasaan bersifat
sentralistik, legislatif, eksekutif dan yudikatif juga hukum dipegang langsung
oleh khalifah, beliau wafat karena sakit dan mewasiatkan agar Umar menggantikan
sepeninggalnya.
3. Khalifah Umar bin al-Khattab RA
Beliau adalah khalifah yang
pertama kali memisah kekuasaan yudisial dari eksekutif. Beliau juga membuat
sebuah dustûr yang dibuat pegangan bagi para hakim agung. Diantara
kebijakan-kebijakan Umar Bin Khattab ialah:
J Dalam bidang hukum bidang yudikatif sudah merupakan badan
tersendiri terpisah dari kekhalifahan.
J Menyusun dewan-dewan (departemen) antara lain: Lembaga
peradilan, lembaga konsultasi hukum, kepolisian, perbendaharaan negara, lembaga
pajak, lembaga ketentraman dan pekerjaan umum, mendirikan Baitul Mal
J Mulai mengkodifikasi Al-Qur’an/menyatukan al-qur’an yang
tercecer;
J Adanya penetapan Tahun Hijriyah (622 M).
4. Utsman bin Affan RA
Beliau tidak banyak melakukan
perubahan sistem peradilan dari apa yang ditinggalkan Umar RA. Utsman adalah
khalifah yang pertama kali membangun gedung khusus untuk peradilan Islam.
5. Ali bin Abi Thalib RA
Beliau memberi instruksi kepada
pemimpin-pemimpin daerah bagi krateria orang yang layak untuk diangkat menjadi
hakim.
6. Masa Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah.
B
Kehakiman ini belum
terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan
penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh
suatu golongan politik tertentu.
B
Pada masa dinasti umayyah
ada tiga kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu :
1)
Pengadilan Al-Qadla.
Pengadilan ini mengadili perkara-perkara perdata (termasuk
didalamnya hukum keluarga) dan pengadilan pidana (jinayat).
2)
Pengadilan Al-Hisbah.
Lembaga pengadilan resmi Negara ini wewenang utamanya adalah
menyelesaikan atau mengadili pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut
sifatnya tidak perlu proses peradilan dalam menyelesaikannya. Adapun perkara
yang diselesaikan adalah masalah pengurangan takaran dan timbangan di pasar,
menjual makanan kadaluwarsa dan memuat barang yang melebihi kapasitas
kendaraan.
3)
Pengadilan
Al-Madzalim.
Kata al-madzalim adalah jama’ dari al-madzlamat yang menurut
bahasa berarti nama bagi sesuatu yang di ambil oleh orang dzalim dari tangan
seseorang. Jadi pengadilan ini di bentuk oleh pemerintah khusus membela
orang-orang madzlum (teraniya) akibat sikap semena-mena dari pembesar/pejabat
negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaianya sulit untuk diselesaikan oleh
pengadilan biasa (al-qadla), dan pengadilan (al-hisbah).
7. Masa Pemerintahan Dinasti Bani Abasyiah.
A
Pemerintahan Bani Abbasiyah
mempunyai perhatian yang sangat besar dalam bidang peradilan dan itu ditandai
dengan banyaknya kreasi-kreasi baru dalam bidang peradilan seperti pengangkatan
Qadhil Qudhah, Lembaga Tahkim, Wilayatul Mazhalim dan Wilayatul Hisbah.
A
Akibat perhatiannya yang
sangat besar terhadap peradilan dan hakim-hakimnya, pemerintahan Bani Abbasiyah
sering mengintervensi keputusan-keputusan peradilan, akibatnya banyak para
ulama yang berkompeten menolak menjadi hakim.
A
Pengangkatan hakim-hakim
pada mulanya satu orang setiap daerah yang diangkat dari pengikut mazhab
mayoritas di negeri itu, namun karena berkembangnya wilayah, dinamika
masyarakat bertambah, maka hakimpun diangkat beberapa orang dalam setiap
wilayah yang terdiri dari berbagai mazhab yang dianut oleh masyarakat setempat.
A
Para hakim yang diangkat
sangat toleran dalam bidang mazhab dan apabila yang berperkara tidak semazhab
dengannya maka dia menyerahkan perkaranya kepada hakim lain yang semazhab
dengan pihak yang berperkara. Dengan demikian maka semua perkara dapat
diselesaikan dengan baik, tanpa ada perlawanan dari masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qasimi, Dzafir,
Nizhamu al-Hukmi fi al-Syar’iyati wa Tarikhu al-Islami, (Daru Nakhorus, t.t).
Ash-Shiddiqie, Tengku
Muhammad Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang : PT Pustaka Rizki
Putra, 2001).
Ibnu Urnus, Mahmud
bin Muhammad, Tarikh al-Qodho’ fi al-Islami, (Mesir : Al-Ahlu al-Syar’I
al-Qahiriyah, t.t).
Imam As-Suyuthi,
Tarikh Khulafa’, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2005).
Mazkur, Muhammad
Salam, Al-Qodho’u fi Al-Islami, (Beirut : Darun Nahdhah Al-Arabiyah, t.t).
Mukhtar, Hasan,
Al-Tanzhimul Qadho’I fi Al-Mamlakati al-Arabiyati al-Su’udiyati fi Qowa’idi
al-Syar’iyati al-Islamiyati Wa Nizhamu al-Sulthoni al-Qodho’iyati, (Riyadh :
Al-Mamlaktu al-Arabiyati al-Su’udiyati, 1406 H).
[1] Lihat biografi singkatnya dalam Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd
Al-Ziriklī, Al-A’lām, Beirut, Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, Cet. 15, Mei 2002,
Vol. III, hlm. 14. Diantara cerita yang dituturkan tentangnya dalam Al-A`lām
adalah bahwa dirinya pernah menjadi arbitrator antara `Abd al-Muţallib ibn
Hāshim –yang memiliki kedudukan sangat terpandang saat itu– dengan sekolompok
orang dari suku Qays `Aylān mengenai persengketaan mereka terhadap sebuah
sumber air di wilayah Ţāif.
[2] Āmir ibn al-Dharib ibn `Amru ibn `Iyādz al-`Udwāni,
dikenal juga sebagai “Dzu al-Hilm”. Pemimpin Bani Mudlar, dikenal sebagai
orator dan arbitrator (orang bijak, hakīm) yang selalu diterima pendapatnya,
serta termasuk salah satu diantara yang mengharamkan khamr di zaman Jahiliyah.
Lihat: Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. III, hlm. 252
[3] Ibn Hishām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah,, vol. III, hlm. 33.
Teksnya berbunyi:
وإن المؤمنين المتقين على من بغى منهم أو ابتغى
دسيعة ظلم أو إثم أو عدوان أو فساد بين المؤمنين وإن أيديهم عليه جميعا ولو كان ولد
أحدهم
[4] Ibn Hishām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah,, vol. III, hlm.
34-35. Teksnya berbunyi:
“وإنه
ما كان بين أهل هذه الصحيفة من حدث او اشتجار يخاف فساده فإن مرده إلى الله عز وجل
وإلى محمد رسول الله”
[5] Ayatnya yaitu: وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ
فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ
[6] Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud, vol. III, hlm. 330. Hadits No. 3594. Sebagai
catatan, kesahihan hadits ini diperdebatkan oleh para ulama hadits. Sebagaian
ahli hadits, diantaranya Syaikh Al-Albani men-dla`if-kan hadits ini.
[7] HR. Al-Tirmidzi dan dikatakan hasan oleh Al-Albāni.
Lihat: Muhammad ibn `Īsā Abū Īsā al-Tirmidzi, Al-Jāmi` al-Şahīh Sunan
Al-Tirmidzi, Tahqiq: Ahmad Muhamad Shākir et.all, Beirut, Dār Ihyā al-Turāts
al-`Arabi, tt, vol. III, hlm. 618. Hadits no. 1331.
[8] Al-Bayhaqi, Al-Sunan al-Kubro, vol. X, hlm. 252 dalam
Software al-Maktabah al-Shāmilah. Hadits senada juga diriwayatkan oleh
Al-Tirmidzi dalam Al-Jāmi` al-Şahīh Sunan Al-Tirmidzi, vol. III, hlm. 626.
Hadits no. 1341. Bunyi teksnya: أن النبي صلى الله عليه و سلم قال في خطبته
البينة على المدعي واليمين على المدعى عليه
[9] Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud, vol. III, hlm. 333. Hadits No. 3597. Bunyi
hadits selengkapnya:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ
وَهْبٍ أَخْبَرَنِى يُونُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ كَعْبِ
بْنِ مَالِكٍ أَنَّ كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَقَاضَى ابْنَ أَبِى حَدْرَدٍ
دَيْنًا كَانَ لَهُ عَلَيْهِ فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى
الْمَسْجِدِ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّى سَمِعَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- وَهُوَ فِى بَيْتِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ حُجْرَتِهِ وَنَادَى كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ فَقَالَ
« يَا كَعْبُ ». فَقَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَأَشَارَ لَهُ بِيَدِهِ أَنْ
ضَعِ الشَّطْرَ مِنْ دَيْنِكَ قَالَ كَعْبٌ قَدْ فَعَلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ
النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « قُمْ فَاقْضِهِ ».
[10] HR. Muslim dari Abu Hurayrah. Lihat: Muhamad
al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm. 52. Teksnya berbunyi:
إن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على صبرة طعام
فأدخل يده فيها فنالت أصابعه بللا، فقال: ما هذا يا صاحب الطعام ؟ قال: أصابته السماء
يا رسول الله.قال: أفلا جعلته فوق الطعام حتى يراه الناس.من غشنا فليس منا.
[11] Disebutkan oleh beberapa ulama sirah. Maknanya terdapat
juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad. Lihat: Muhamad
al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm. 52
diakses, jum’at 16 Januari 15
No comments:
Post a Comment
silahkan poskan komentar anda..komentar diharap tidak rasisme, santun dan tidak mengandung sara..terima kasih ^_^